Pulau Bawean, yang terletak di tengah Laut Jawa, dikenal sebagai “Pulau Putri” dengan pesona alam yang masih alami, dengan pantai berpasir putih dan pegunungan yang hijau. Namun, di balik keelokan itu, wilayah pesisirnya menghadapi tantangan lingkungan yang kian kompleks. Abrasi pantai, degradasi lahan pesisir, hingga tekanan dari perubahan iklim global menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan ekosistem dan kehidupan masyarakat yang bergantung padanya.
Salah satu desa yang terdampak dan sekaligus menjadi titik awal upaya pelestarian ini adalah Desa Sidogedungbatu, yang terletak di pesisir timur Pulau Bawean. Di desa inilah, muncul sebuah gerakan akar rumput yang dipelopori oleh mahasiswa UGM. Program ini merupakan kolaborasi dengan yayasan Trees4Trees yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan pesisir. Bukan sebagai proyek sesaat, tetapi sebagai upaya jangka panjang untuk membangun kesadaran ekologis dan praktik pelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
Mahasiswa yang tergabung dalam tim KKN-PPM UGM Baweanesia 2025 (2025-JI050) melakukan pemetaan persoalan lingkungan. Mereka juga berdialog langsung dengan warga dan merancang aksi yang tidak hanya simbolik. Namun, benar-benar memberi dampak nyata. Salah satu aksi konkritnya adalah penanaman 2.000 bibit mangrove di sepanjang pesisir desa—langkah penting yang menjadi awal dari restorasi ekosistem pesisir di kawasan ini.
Kolaborasi untuk Keberlanjutan
Keberhasilan inisiatif ini tak lepas dari hadirnya Trees4Trees, NGO yang selama ini dikenal atas dedikasinya dalam gerakan reforestasi dan pemberdayaan komunitas lokal. Melalui dukungan teknis, penyediaan bibit, serta edukasi tentang pentingnya ekosistem mangrove, Trees4Trees menjadi jembatan yang menghubungkan semangat muda dengan pengalaman lapangan yang mumpuni.
Dengan pendekatan yang partisipatif, mereka memastikan bahwa masyarakat lokal bukan hanya menjadi penerima manfaat, melainkan juga aktor utama dalam menjaga dan merawat tanaman mangrove yang telah ditanam. Apa yang dilakukan di Sidogedungbatu mungkin tampak sederhana. Namun, inilah bentuk nyata dari pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal. Lewat kerja sama lintas sektor, tercipta sinergi yang mengakar kuat.
Mahasiswa KKN ingin meninggalkan sesuatu yang tumbuh, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara nilai dan kesadaran. Mangrove ini adalah upaya kami untuk keberlanjutan bagi generasi berikutnya.
Program ini menandai babak baru: bagaimana desa pesisir bisa menjadi pusat inovasi hijau dan kemandirian lingkungan. Ini bukan akhir, melainkan awal dari gerakan panjang menuju desa yang berdaya, berkelanjutan, dan selaras dengan alam. Melalui kolaborasi perangkat desa, karang taruna, masyarakat, serta mitra seperti Trees4Trees, Desa Sidogedungbatu menapaki jalan baru menuju pembangunan yang berbasis pada kearifan lokal dan keberlanjutan lingkungan.
Kegiatan ini akan menjadi semacam kultur ekologis, yang bukan hanya ditandai oleh aksi menanam. Namun, juga oleh nilai yang diwariskan. Bahwa merawat alam bukanlah pilihan, melainkan kewajiban lintas generasi. Dalam benak anak-anak yang turut serta, menanam mangrove bukan hanya belajar tentang pohon. Akan tetapi, juga tentang tanggung jawab, cinta terhadap kampung halaman, dan pentingnya menjaga bumi sebagai rumah bersama. Nilai-nilai inilah yang menjadikan aksi ini lebih dari sekadar proyek lingkungan. Ia akan tumbuh dan berkembang menjadi warisan sosial.
Sebuah kenangan bersama yang akan terus hidup dalam cerita, dalam foto-foto yang disimpan warga, dan dalam hutan mangrove yang kelak menjulang tinggi. Ini menjadi penanda bahwa satu waktu, masyarakat Sidogedungbatu pernah memilih untuk tidak diam dan pasrah dengan keadaan. Dua ribu bibit mangrove yang akan tumbuh di sepanjang pesisir Desa Sidogedungbatu sedang menulis kisah barunya. Inilah kisah tentang desa yang tak hanya menjaga lautnya, tetapi juga merancang masa depannya.
Penulis: Liyana Amalina (Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM yang sedang melaksanakan KKN-PPM di Kecamatan Sangkapura (Pulau Bawean), Kab. Gresik)
