Lanskap sawah Padukuhan Besole, Kec. Samigaluh, Kab. Kulon Progo. Foto: Mahasiswa KKN-PPM UGM YO-031
Dukuh Besole, sebuah padukuhan di Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo, sekilas tampak seperti desa pertanian pada umumnya. Sawah menghampar, petani berangkat pagi, dan traktor kadang terdengar di kejauhan. Namun, di balik itu semua, terdapat cerita lain yang jauh dari gemilang. Cerita tentang petani yang tak lagi yakin pada lahannya, generasi muda yang tak tertarik menggarap tanah, hingga penyakit tanaman yang memupus harapan panen.
Cerita-cerita ini kami dengar langsung dalam sebuah diskusi kelompok terarah (FGD) yang kami lakukan selama kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Dukuh Besole, pada pertengahan Juli 2025. Kegiatan ini mempertemukan kami bertiga, mahasiswa dari berbagai jurusan dengan para petani lokal dari kelompok tani di Besole yang tersebar di 4 wilayah RT Padukuhan Besole. Diskusi berlangsung hangat, terbuka, dan jujur. Demikian, dari situ, kami menangkap satu pesan besar: sektor pertanian tengah menghadapi titik rawan.
Krisis Air, Mesin, dan Regenerasi
Pada dasarnya, sektor agraris merupakan ladang ekonomi yang hidup atas sumber daya alam yang terkandung pada suatu wilayah. Tanah subur yang terbentang, air hujan yang turun, hingga rantai makanan yang berputar adalah sumber dari dinamika pertanian yang hidup. Namun, di lain sisi, musuh terbesar dari pertanian adalah alam itu sendiri. “Musuh utama kami sekarang bukan hanya hama, tapi air,” ujar seorang anggota Kelompok Tani yang juga merupakan Ketua RT 36. Ia menjelaskan bahwa sebagai wilayah hulu, Besole kerap kekurangan air saat musim tanam dimulai. Benih sudah tersedia, tapi tanah masih kering. Sumur gali hanya cukup untuk kebutuhan minum dan mandi. Irigasi pertanian? Belum ada yang memadai.
Masalah lain juga muncul dari sektor teknologi. Meski mesin pertanian seperti traktor tersedia, jumlah operator yang mampu mengoperasikannya sangat terbatas. “Operator cuma empat orang, dan kebanyakan sudah tua. Anak-anak muda tidak ada yang mau karena takut medan,” ungkap Ketua RT 37.
Kondisi ini mencerminkan persoalan nasional. Studi Challenge of Agriculture Development in Indonesia (2023) mencatat bahwa 64,2% petani di Indonesia saat ini berusia 45 tahun ke atas, dengan 21,2% diantaranya sudah tergolong lanjut usia (60 tahun). Angka ini meningkat tajam dibandingkan tahun 1971, ketika proporsi petani lanjut usia hanya mencapai 7,6%.
Fenomena tersebut sejalan dengan menurunnya minat generasi muda di sektor pertanian. Penelitian menunjukkan bahwa anak muda empat kali lebih memilih bekerja di sektor manufaktur atau jasa daripada bertani, karena pertanian dianggap berpenghasilan rendah dan penuh ketidakpastian.
“Kalau situasi terus seperti ini, 10 tahun ke depan jumlah petani akan berkurang drastis. Anak-anak muda lebih memilih ke kota daripada meneruskan bertani,” kata Ketua RT 36. Hal senada disampaikan Ketua RT 37, “Anak muda kini lebih memilih ke kota. Yang tersisa di desa didominasi petani usia lanjut.”
Produksi: Banyak Tenaga, Hasil Minim
Jika dilihat dari kacamata ilmu antropologi, isu-isu yang terjadi di Besole dapat dikaitkan dengan terjadinya sebuah involusi dalam pertanian. Suatu kondisi di mana tenaga kerja terus ditambah ke dalam sistem pertanian, tapi tanpa peningkatan produktivitas yang berarti. Di Besole, tenaga dan biaya semakin besar, tetapi hasil justru stagnan, bahkan menurun. Contohnya, Ketua RT 35 menyebut bahwa ia hanya mampu panen sekali dalam setahun. Panen kedua sering gagal karena musim kemarau berkepanjangan. Hama seperti tikus, ulat sundep, dan penyakit kresek (xanthomonas) juga kian sering menyerang. “Kami sudah tiga kali gagal panen tahun ini,” tuturnya. Belum lagi, modal produksi yang tersisa masih harus dialokasikan untuk obat-obatan pertanian, yang mana merupakan bagian terbesar dalam pengalokasian biaya. Pestisida cenderung begitu mahal, dan penggunaannya yang tidak tepat kadang justru memperkuat kekebalan hama.
Tidak Ada Pembukuan, Tidak Ada Pasar
Ketika kami menanyakan apakah ada pencatatan biaya dan hasil panen, jawabannya hampir serupa, tidak ada. Semuanya dihitung “di kepala” saja. Alasannya terdengar sederhana namun menyiratkan ironi struktural dimana lahan yang kecil dan hasil panen yang hanya cukup untuk konsumsi rumah tangga membuat pencatatan dianggap tidak relevan. “Kalau dihitung-hitung malah stres, soalnya biaya pupuk sama benih aja nggak nutup,” ujar Ketua RT 34.
Saat Ditinjau dari perspektif akuntansi ada sebuah teori yang dapat menjelaskan fenomena yang terjadi kepada petani di Besole, yakni teori bounded rationality yang dikemukakan oleh Herbert A. Simon, keputusan untuk tidak mencatat ini justru rasional dalam batas sumber daya dan informasi yang tersedia. Ketika biaya mental, waktu, dan tenaga untuk membuat pembukuan dianggap tidak sebanding dengan manfaatnya, maka “menghitung di kepala” menjadi strategi logis dalam kondisi terbatas.
Sebagian besar petani di Besole memang tidak menjual hasil panen mereka. Beras disimpan untuk makan sendiri selama setahun. Kalau sangat terpaksa, barulah dijual. Tidak ada sistem agrobisnis. Bahkan, Ketua RT 36 menyebut, “Hasil pertanian itu cadangan saja. Ekonomi keluarga kami justru dari ternak hewan ayam, sapi, kambing. Itu yang kami jual untuk biaya sekolah dan kebutuhan lain”. Fenomena ini menujukkan bahwa sistem pencatatan atau akuntansi formal belum dianggap relevan dalam kehidupan sehari-hari para petani. Bukan karena tidak mampu, tetapi karena sistem ini belum menjawab kebutuhan dan konteks realitas mereka.
Logika Bertani: Antara Subsistensi dan Solidaritas Sosial
Petani di Besole tidak memprioritaskan keuntungan dalam bertani, melainkan berorientasi pada keberlangsungan hidup keluarga. Tidak ada pencatatan biaya produksi, dan hasil panen sebagian besar disimpan untuk konsumsi rumah tangga. Penjualan hanya dilakukan saat mendesak, misalnya untuk biaya sekolah anak. Petani tradisional bekerja berdasarkan etika subsistensi, bukan untuk memperkaya diri, tetapi untuk bertahan hidup. Dalam kerangka ini, keberhasilan panen diukur bukan dari untung-rugi, tetapi dari kecukupan pangan dan kesinambungan sosial. Ini merupakan salah satu ciri dalam perekonomian masyarakat tradisional, pertukaran hasil pertanian lebih ditentukan oleh nilai sosial dan norma budaya, bukan oleh cara kerja pasar bebas.
Perubahan Perlahan di Dunia yang Cepat
Meski demikian, perubahan tetap terjadi meski perlahan. Teknik tanam modern seperti jajar legowo (jarwo) sudah mulai diterapkan setelah penyuluhan dari lembaga Penyuluhan Pertanian Lapangan (PPL) setempat. Cara tanam ini mengatur jarak antar tanaman agar sinar matahari terserap optimal dan pertumbuhan tanaman lebih baik.
Sayangnya, transformasi ini belum cukup. Dengan minimnya regenerasi, tidak adanya pencatatan hasil, serta beban biaya yang terus membesar, pertanian di Besole berada di persimpangan jalan. Bila tidak ada intervensi nyata, baik dari pemerintah, akademisi, maupun sektor swasta, masa depan pertanian desa seperti Besole akan semakin rapuh.

Suara Harapan dari Sawah
Di akhir diskusi, para petani menyampaikan pesan yang sangat jelas: mereka tidak butuh teori besar, mereka butuh alat yang nyata. “Kalau bisa, dibantu alat perontok padi (thresher) saja. Itu cukup membantu pasca panen,” ucap salah satu anggota kelompok tani yang hadir.
Menutup tulisan ini, kami percaya bahwa suara petani tidak boleh hanya berhenti di ruang diskusi. Ia perlu diteruskan ke ruang kebijakan. Jika negara ingin menyelamatkan pertanian nasional, maka mendengarkan desa seperti Besole adalah langkah awal yang tak boleh ditunda.
Penulis: Michael Dira Van Terry, Mahasiswa Prodi Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya UGM, KKN-PPM Unit 2025-YO031 di Samigaluh, Kab. Kulon Progo, DI Yogyakarta
Artikel ini telah dimuat di kompasiana.com