Dewasa ini, bekerja pada sektor informal menjadi tumpuan bagi masyarakat dengan latar belakang pendidikan yang terbatas, dan kemampuan atau skill yang tidak mumpuni. Nelayan merupakan kelompok pekerja informal pedesaan yang seringkali terabaikan. Bahkan seringkali nelayan diasosiasikan dengan kemiskinan dan marginalitas (Kingseng, 2014).
Terutama mereka buruh nelayan, tantangan terbesar terletak pada keterbatasan modal dan tekanan dari nelayan kapitalis. Sedangkan di lain sisi, nelayan kapitalis atau juragan justru menerima pendapatan yang besar dan kehidupan yang sangat layak (Wijayanti, 2008). Seperti yang terjadi pada buruh nelayan di Kecamatan Enggano, Bengkulu Utara.
Berdasarkan geografisnya, Pulau Enggano dikelilingi oleh Samudera Hindia dengan penduduknya sebagian besar berprofesi sebagai nelayan (BPS, 2023). Pertumbuhan ekonomi terbesar Provinsi Bengkulu tahun 2023 terdapat pada subsektor perikanan. yaitu sebesar 5,39 persen (BPS, 2023).
Namun, di balik kontribusi ekonominya yang besar, terdapat realitas pahit yang dihadapi oleh buruh nelayan dan nelayan kecil. Mereka seringkali terperangkap dalam kondisi ekonomi informal yang rentan dan tidak stabil, di tengah ancaman konflik kelas yang terus mengintai.
Konflik kelas di sektor perikanan tidak hanya sekadar tentang ketidakadilan dalam pembagian hasil tangkapan antara pemilik kapal dan buruh nelayan, tetapi juga mencakup ketidaksetaraan dalam akses terhadap jaminan sosial. Buruh nelayan sering kali tidak memiliki jaminan yang memadai terhadap kesehatan, kecelakaan kerja, atau kehilangan pekerjaan, menyebabkan mereka rentan terhadap risiko ekonomi yang tidak terduga.
Kondisi buruh nelayan menunjukkan paradoks ekonomi di mana kontribusi ekonomi yang besar tidak selalu diimbangi dengan perlindungan sosial yang memadai. Upah yang rendah dan ketidakpastian pekerjaan menjadi pukulan telak bagi keberlangsungan hidup mereka, sementara keberadaan mereka dalam sektor informal hanya memperburuk ketidakstabilan ekonomi dan kemiskinan yang mereka hadapi.
Dalam konteks upah yang diterima oleh buruh nelayan, sering kali tidak seimbang dengan beban kerja yang mereka jalani selama satu hari hingga seminggu dalam satu periode melaut (Manan, 2010). Pendapatan tenaga kerja nelayan pada dasarnya sangat fluktuatif karena bergantung pada hasil tangkapan yang diperoleh dan harga jual ikan di pasar.
Seperti yang dijelaskan oleh Sarasati et al. (2024), pendapatan ABK berasal dari hasil penjualan atau pelelangan ikan yang telah ditangkap. Di wilayah kajian upah ABK atau buruh nelayan menggunakan sistem bagi hasil yang mana sebesar 15% dari pendapatan bersih diberikan kepada juragan sebagai pemilik kapal, sementara sisanya dibagi untuk buruh nelayan dalam satu tim (Wulandari et al., 2023).
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, di Enggano para juragan tidak hanya berperan sebagai pemilik kapal atau modal tetapi juga berperan sebagai tengkulak yang membeli ikan dari buruh nelayan. Para nelayan kecil atau buruh nelayan tersebut tidak memiliki akses langsung ke pelelangan, sehingga mereka hanya bisa menjual ikan kepada juragan dengan harga yang sering kali jauh lebih rendah dari harga pasar.
Situasi ini menciptakan ketergantungan ekonomi, di mana buruh nelayan tidak memiliki banyak pilihan selain menjual ikan kepada juragan dengan harga yang ditentukan oleh mereka. Para buruh nelayan juga mengeluhkan bahwa harga ikan tidak pernah mengalami kenaikan sejak 14 tahun lalu, hanya mengalami kenaikan sedikit. Struktur hubungan tersebut memperlihatkan bahwa para buruh nelayan terjebak dalam mekanisme monopoli yang merugikan mereka sendiri, karena tidak memiliki daya tawar yang kuat dalam menentukan harga jual ikan.
Rata-rata upah buruh nelayan di Enggano sebesar Rp300.000 hingga Rp400.000 untuk sekali trip yang berlangsung selama tiga hari. Hubungan ini menunjukkan bahwa meskipun buruh nelayan melakukan pekerjaan berat di laut dengan berbagai risiko yang dihadapi, mereka tetap harus berbagi pendapatan yang tersisa setelah bagian juragan dipotong terlebih dahulu.
Hal ini semakin memperburuk ketimpangan distribusi pendapatan, mengingat biaya operasional seperti bahan bakar dan perbekalan selama melaut sering kali menjadi tanggungan buruh nelayan sendiri. Hal tersebut menunjukkan adanya eksploitasi terselubung, di mana risiko ditanggung penuh oleh buruh nelayan sementara juragan tetap mendapat bagian keuntungan.
Jaminan Sosial dan Janji Pemberdayaan Nelayan
Selain ketimpangan dalam distribusi pendapatan, buruh nelayan di Enggano juga menghadapi masalah serius terkait perlindungan sosial. Hingga saat ini, mereka tidak pernah mendapatkan sosialisasi mengenai jaminan ketenagakerjaan atau jaminan sosial dari Dinas Perikanan.
Padahal, pekerjaan sebagai nelayan memiliki risiko tinggi, termasuk kecelakaan kerja, cuaca buruk, dan kondisi kerja yang berat. Dalam beberapa kasus, ada juragan yang secara informal memberikan asuransi kepada buruh nelayan yang bekerja di bawahnya. Namun, tidak semua juragan melakukan hal ini, dan banyak buruh nelayan yang sama sekali tidak memiliki perlindungan jika terjadi kecelakaan atau kehilangan penghasilan akibat kondisi cuaca buruk.
Minimnya perlindungan sosial ini semakin memperburuk ketidakpastian ekonomi yang dialami buruh nelayan. Tanpa adanya jaminan sosial atau asuransi formal, mereka harus menanggung sendiri risiko kecelakaan atau kehilangan pekerjaan tanpa ada bantuan dari pemerintah maupun juragan. Dalam kondisi seperti ini, mereka rentan terjerumus dalam lingkaran kemiskinan yang sulit untuk diputus.
Program ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan dapat bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan untuk memastikan bahwa setiap buruh nelayan mendapatkan perlindungan yang layak.
Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam merupakan landasan hukum yang penting dalam upaya perlindungan dan pemberdayaan bagi nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam di Indonesia.
Namun, berdasarkan wawancara dan penelitian lainnya dijelaskan bahwa tugas pemerintah dalam pemberdayaan belum berjalan maksimal. Maka dari itu diharapkan pemerintah dapat berkomitmen untuk memenuhi kewajiban tersebut.
Regulasi harga minimum ikan juga harus ditetapkan untuk memastikan bahwa nelayan mendapatkan harga yang lebih layak atas hasil tangkapannya.
Penulis :
Finella Kristofani Tarigan (Mahasiswa KKN-PPM Unit 2024-BE010)
Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik