Pekerjaan informal masih menjadi pilihan utama bagi banyak masyarakat di Indonesia, terutama di daerah pedesaan yang memiliki keterbatasan akses terhadap pekerjaan formal (Sugiharti et al., 2022). Sektor pertanian, sebagai salah satu penyedia lapangan kerja terbesar, sering kali bergantung pada tenaga kerja informal yang menghadapi kondisi kerja yang tidak menentu, upah rendah, serta minimnya perlindungan tenaga kerja.
Salah satu contoh nyata dari fenomena ini adalah buruh pengupas jengkol di Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Jumlah tenaga kerja informal provinsi Bengkulu di sektor pertanian pada tahun 2023 mencapai 90,44% (BPS, 2023).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, tenaga kerja informal di sektor pertanian Provinsi Bengkulu mencapai 90,44%. Angka ini mencerminkan dominasi sektor informal dalam struktur ketenagakerjaan daerah tersebut, termasuk di Pulau Enggano.
Enggano merupakan daerah penghasil jengkol terbesar di Bengkulu. Namun, keberlimpahan hasil panen ini tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan para pekerja yang terlibat dalam proses produksi dan distribusinya.
Buruh pengupas jengkol di Enggano memperoleh upah yang sangat rendah, yakni hanya Rp1.000 per kilogram. Dengan waktu kerja sekitar 7 hingga 8 jam dalam satu sesi, para buruh bekerja keras untuk memenuhi target sebelum jengkol didistribusikan ke Bengkulu. Pekerjaan ini bersifat musiman dan bergantung pada pasokan jengkol, menyebabkan pendapatan buruh menjadi tidak menentu.
Selain itu, pekerjaan ini dilakukan dengan peralatan sederhana seperti palu, yang tidak hanya memperlambat proses tetapi juga meningkatkan risiko cedera akibat penggunaan alat yang tidak aman.
Salah satu faktor utama rendahnya upah buruh pengupas jengkol adalah harga jual jengkol Enggano yang tergolong sangat murah. Setelah dikupas, jengkol hanya dihargai sekitar Rp10.000 per kilogram oleh para tengkulak di Bengkulu.
Harga tersebut mencerminkan lemahnya daya tawar petani dan pekerja di sektor ini terhadap rantai distribusi yang dikuasai oleh tengkulak dan pedagang besar. Ketidakseimbangan antara biaya produksi dan harga jual mengakibatkan rendahnya margin keuntungan bagi petani.
Dalam kondisi ini, upah buruh ditekan seminimal mungkin agar tetap dapat bersaing di pasar. Selain itu, jengkol sering kali dianggap sebagai komoditas sekunder dibandingkan hasil pertanian lainnya, yang menyebabkan kurangnya perhatian dari pemerintah dalam bentuk subsidi atau kebijakan perlindungan harga.
Tekanan ekonomi juga diperparah oleh sistem distribusi yang tidak efisien. Tengkulak dan pedagang besar memiliki kendali terhadap harga di tingkat petani dan buruh, sementara para tengkulak sendiri dapat menjualnya dengan harga lebih tinggi di pasar kota atau daerah lain.
Fenomena lain yang ditemukan di Enggano adalah keterlibatan anak-anak bekerja sebagai buruh pengupas jengkol untuk membantu perekonomian keluarga. Kondisi tersebut tidak hanya mencerminkan rendahnya kesadaran masyarakat tentang larangan pekerja anak, tetapi juga menandakan adanya permasalahan struktural dalam perekonomian lokal.
Lebih jauh, fenomena ini menunjukkan kegagalan sistemik dalam menyediakan harga minimum komoditas jengkol. Keberadaan pekerja anak dalam industri pengupasan jengkol juga menyoroti absennya intervensi dari pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya dalam memastikan perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak dasar mereka, seperti pendidikan dan kesehatan. Tanpa kebijakan yang tegas dan upaya yang sistematis untuk memberdayakan ekonomi masyarakat, praktik ini akan terus berlanjut, memperkuat ketimpangan sosial dan menghambat pembangunan sumber daya manusia di Enggano.
Beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat diambil meliputi:
- Peningkatan Harga Jual Komoditas Jengkol
Pemerintah daerah perlu menetapkan harga dasar minimum bagi jengkol agar petani dan buruh mendapatkan penghasilan yang lebih layak.
- Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Lokal
Diversifikasi mata pencaharian melalui pelatihan keterampilan bagi masyarakat, terutama perempuan dan anak-anak, untuk mengurangi ketergantungan terhadap sektor pertanian musiman.
Isu buruh pengupas jengkol di Enggano mencerminkan permasalahan lebih luas dalam sistem ekonomi dan ketenagakerjaan di sektor informal. Upah rendah, kondisi kerja yang tidak layak, serta kurangnya perlindungan tenaga kerja menjadi tantangan utama yang dihadapi para pekerja.
Selain itu, keterlibatan anak-anak dalam pekerjaan ini menunjukkan adanya urgensi bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk bertindak. Tanpa kebijakan yang komprehensif dan intervensi nyata, ketimpangan ekonomi di daerah ini akan terus berlangsung.
Oleh karena itu, diperlukan upaya sistematis melalui peningkatan harga jual, perlindungan tenaga kerja, pemberdayaan ekonomi, penghapusan pekerja anak, serta perbaikan infrastruktur agar kesejahteraan buruh pengupas jengkol dan petani di Enggano dapat meningkat secara berkelanjutan.
Oleh: Finella Kristofani Tarigan (Mahasiswa KKN-PPM Unit 2024-BE010)
Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik