Di balik kabut tipis dan gemuruh pinus yang melambai pelan, Nawangan berdiri tenang. Dataran tinggi yang dijuluki “Negeri Di Atas Awan” ini bukan hanya menyimpan udara sejuk dan mata air pegunungan yang jernih.
Ia juga menggamit tradisi, memelihara gerak dan irama yang telah lama menari dalam denyut masyarakatnya.
Tari Tayub, Gerak Lembut yang Menjaga Harmoni Hidup
Di sebuah pelataran bambu yang menghadap perbukitan, ketika malam tiba dan kabut belum sepenuhnya turun, suara gamelan mengalun pelan. Beberapa perempuan berbalut selendang gemulai berdiri dalam barisan.
Mereka menari tayub, tarian rakyat khas Nawangan yang lahir dari akar kebersamaan, semangat gotong royong, dan keharmonisan warga desa. Gerak-gerik dalam tarian ini bukan sekadar tarian penghibur, melainkan pesan hidup.
Ayunan tangan dan goyangan bahu menggambarkan keseimbangan, keselarasan, dan cara hidup yang lemah lembut namun teguh.
Tayub di Nawangan bukan hanya tarian. Ia adalah bahasa tubuh yang diwariskan dari generasi ke generasi, selaras dengan aliran air yang mengucur dari mata-mata air pegunungan. Sama seperti geraknya, air itu mengalir tenang, tak menggebu, tapi selalu hadir di setiap sudut desa.
Di setiap bukit, setiap gunung, Nawangan menyimpan sumber mata air yang jernih. Ia adalah kehidupan.
Kehidupan yang tumbuh di sana, selalu berdampingan dengan rasa hormat pada alam, pada leluhur, pada sesama.
Rumah Sunyi Jenderal Soedirman
Di sinilah, di Dukuh Sobo, Desa Pakis Baru, sejarah bangsa ditorehkan dalam senyap yang gagah. Tahun 1949, ketika Republik ini diguncang Agresi Militer Belanda II, seorang jenderal kurus dengan paru-paru tinggal satu, masih tegak melawan. Jenderal Soedirman. Ia memimpin perang gerilya dalam sakit, dalam senyap, dalam pelarian yang lebih mirip ziarah.
Salah satu tempat yang menjadi persinggahannya paling lama adalah rumah joglo sederhana milik Karso Soemito. Dinding kayu rumah itu diam, tapi menyimpan ingatan yang bising. Ruang tengah tempat para prajurit berembuk, tandu tempat Pak Dirman berbaring dengan napas yang patah-patah, hingga pawonan (dapur desa yang hangat) semua menjadi pusara sunyi yang abadi.
Bahkan dapur itu masih menyimpan sisa-sisa kehangatan makanan yang dulu disediakan warga dengan hati penuh kasih.
Tak jauh dari sana, berdiri patung Panglima Besar Jenderal Soedirman setinggi tujuh meter, menghadap ke utara. Ia menatap lapangan luas dan delapan gerbang simbol delapan provinsi yang pernah dilalui gerilya.
Trap tangga 45-8-17 menyimbolkan angka keramat kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Tapi Nawangan bukan hanya tentang angka dan patung. Ia tentang napas, hening, dan luka yang dijaga dalam diam.
Nawangan bukanlah medan biasa. Nawangan adalah perbukitan yang memeluk lembah-lembah sunyi. Setiap punggung gunung dan lekuk bukitnya menyimpan mata air yang tak hanya jernih, tetapi juga suci, dijaga, diwariskan, dan disyukuri.
Dahulu, air itu mungkin menyembuhkan luka para prajurit. Mencuci perban, mengisi canting bambu, menenangkan napas sang jenderal. Kini, ia menjadi saksi yang diam. Sumber kehidupan yang rapuh jika terus-menerus diganti, ditebang, atau dieksploitasi tanpa nurani.
Hutan bukan sekadar hijau. Ia adalah penjaga air dan air bukan hanya cairan, ia adalah kehidupan. Nawangan tahu betul itu.
Antara Sejarah, Alam, dan Nilai yang Masih Hidup
Nawangan menyimpan dua kekuatan sekaligus, jejak sejarah dan sumber daya alam yang masih murni. Tapi bukan hanya itu. Nawangan adalah nyanyian. Ia menyimpan bunyi gamelan dalam pesta tayub.
Ia menyimpan cerita dalam lambaian pohon damar. Ia menyimpan harapan dalam tiap tetes mata air gunung. Ia adalah satu dari sebelas desa unggulan di Pacitan yang menyimpan potensi luar biasa sebagai desa wisata berbasis sejarah, budaya, dan lingkungan. Namun, potensi bukan warisan. Ia harus dijaga.
Jejak itu tidak hanya untuk dikunjungi. Ia untuk direnungkan. Untuk diajarkan. Untuk dihidupkan kembali dalam cara hidup yang menghormati alam dan sejarah.
Nawangan mengajarkan bahwa kemerdekaan bukan hanya tentang melawan penjajah bersenjata. Namun, juga melawan kerakusan. Melawan lupa. Melawan ketidakpedulian.
Lebih dari Lokasi, Nawangan adalah Nilai
Hari ini, ketika penjajahan senapan telah pergi, kita dihadapkan pada penjajahan lain, yaitu kemiskinan, kebodohan, eksploitasi alam, dan kehilangan jati diri.
Maka Nawangan, yang dahulu membantu seorang jenderal bergerak meski dengan satu paru-paru, kini membantu kita mengingat arah.
Ia bukan sekadar lokasi. Ia adalah nilai.
Ia bukan sekadar tempat tinggi. Ia adalah puncak dari kesetiaan.
Ia bukan sekadar sejarah. Ia adalah pesan.
Kita, generasi setelahnya, punya tugas menjaga, bukan hanya cagar budaya, tapi juga hutan, pohon, sumber mata air, dan semangat ikhlas yang dulu menyelamatkan negeri ini dalam sunyi. Termasuk menjaga irama pelan dari tari tayub yang tak pernah benar-benar mati.
“Dengan satu paru-paru dan ditandu, kamu tetap mendengungkan pantang menyerah.”
– Jero Wacik, mengenang semangat Soedirman
Ditulis oleh:
Erika Az Zahra Nurcahyani, Mahasiswa Prodi Bahasa Dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya UGM, KKN-PPM UGM Unit 2025-JI048 di Nawangan, Kab. Pacitan, Jawa Timur
Kontributor:
Dr.med.vet.drh. Hendry T.S.S.G.Saragih,M.P. & Tim KKN PPM UGM Seru Jeparu 2025
Kecamatan Nawangan, Pacitan — 2025