
Pada hari Jumat Pahing di akhir tahun 2024, tepatnya tanggal 27 Desember, masyarakat berjalan berduyun-duyun sembari menggotong tikar dan bakul-bakul berisi nasi, ayam, dan berbagai macam santapan lain. Mereka menuju sebuah jalan setapak tepat di sebelah makam para leluhur. Tikar-tikar digelar, orang-orang bercengkrama dengan tetangga sembari menunggu yang lainnya berkumpul.
Kegiatan tersebut adalah acara Sadran yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Ploso, Desa Kemloko, Kecamatan Kranggan, Temanggung. Setelah semua warga berkumpul di tempat, Ketua Majelis Sadran Dusun Ploso akan memimpin doa untuk para leluhur. Kemudian, acara disambung dengan makan bersama dengan saling bertukar dan berbagi santapan yang sudah dibawa.
Satu hal menarik dari acara Sadran di Dusun Ploso adalah adanya orang-orang yang akan lewat dan menadahkan bakul kosong kepada warga yang sedang makan. Seakan sudah paham, warga langsung memasukkan bekal yang telah mereka bawa ke dalam bakul tersebut. Berdasarkan penuturan Ade Kelana, Kepala Dusun Ploso, mereka bukanlah warga dari daerah setempat. “Ya [masyarakat] menanggapinya sudah menjadi budaya kalau setiap sadranan ada seperti itu, ya biasa saja,” ucap Ade.
Tradisi Sadran dilakukan untuk mengenang dan mendoakan para leluhur. Dengan demikian, acara Sadran tak bisa dilepaskan dari pembersihan dan ziarah kubur yang dilaksanakan di hari-hari sebelumnya.
Oleh karena itu, pembersihan dan ziarah kubur biasanya dilakukan pada hari Rabu atau Kamis sebelumnya. “Hari kamis malam itu sudah tidak ada kegiatan di sana [makam],” jelas Ade. Menurut Ade, kegiatan tersebut dilakukan oleh setiap warga yang makam leluhurnya bertempat di makam Dusun Ploso. Bahkan, warga dari dusun-dusun tetangga juga dapat ikut melaksanakan sadran di Dusun Ploso. Pelaksanaannya tidak dilakukan bersama-sama, melainkan menyesuaikan waktu luang setiap warga.
Penulis: Fanni Calista, Mahasiswa Prodi Filsafat, Fakultas Filsafat UGM, KKN-PPM Unit 2024-JT125 Kranggan, Kab. Temanggung, Jawa Tengah
Artikel ini dimuat di kumparan.com