Bahasa ibu memainkan peran dalam proses pewarisan budaya dan pembentukan jati diri sejak masa kanak-kanak. Di lingkungan keluarga, bahasa ini tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga merepresentasikan nilai-nilai etnik yang diwariskan dari generasi ke generasi. Fishman (1991) menegaskan bahwa bahasa ibu merupakan sarana utama dalam mempertahankan identitas kelompok budaya serta kesinambungan antar generasi. Akan tetapi, dalam situasi masyarakat yang mengalami mobilitas sosial dan geografis, seperti para transmigran, hal ini akan menciptakan keberlangsungan bahasa ibu seringkali terancam karena adanya tuntutan untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial yang baru. Para transmigran ini harus beradaptasi terhadap bahasa dominan setempat. Hal ini seringkali dianggap sebagai pilihan strategis untuk memudahkan integrasi sosial dan menghindari isolasi linguistik. Akibatnya, bahasa ibu mulai kehilangan perannya di ranah domestik dan mengalami penyusutan fungsi secara perlahan. Ketika bahasa tersebut tidak lagi digunakan secara aktif dalam interaksi keluarga, maka proses pemerolehannya pun akan terputus di generasi berikutnya.
Salah satu contoh nyata dari kondisi tersebut dapat ditemukan di wilayah Rasau Jaya Tiga, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Daerah ini merupakan kawasan transmigrasi yang dihuni oleh pendatang dari Pulau Jawa. Meskipun mayoritas orang tua yang tinggal di wilayah ini adalah penutur bahasa Jawa, anak-anak mereka cenderung lebih sering menggunakan bahasa Melayu lokal atau bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Situasi seperti ini menunjukan adanya pergeseran bahasa antargenerasi (international language shift), yakni perubahan pola penggunaan bahasa dari generasi pertama ke generasi kedua. Holmes (2013) menyatakan bahwa pergeseran semacam ini kerap dipengaruhi oleh faktor sosial, seperti keinginan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, persepsi terhadap status bahasa, serta pertimbangan praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Peralihan penggunaan bahasa daerah ke bahasa nasional atau lingua franca tidak hanya mengikis kompetensi linguistik generasi muda terhadap bahasa leluhur, tetapi juga melemahkan keterikatan mereka dengan identitas budaya yang diwariskan. Dalam masyarakat yang ada di Desa Rasau Jaya Tiga, pergeseran penggunaan bahasa ibu ini tampak nyata dalam praktik berbahasa di lingkungan keluarga, ketika dominasi bahasa Indonesia dan lemahnya transmisi antargenerasi menyebabkan makin menyempitnya fungsi bahasa daerah dalam ruang domestik. Melalui observasi nonformal terhadap beberapa keluarga khususnya hubungan bahasa antara ibu dan anak yang ada di Desa Rasau Jaya Tiga, ditemukan bahwa hanya ditemui sedikit yang konsisten mengenalkan bahasa Jawa atau bahasa ibunya kepada anak-anaknya. Pergeseran ini tidak hanya terjadi karena pilihan pribadi, tetapi juga karena pengaruh lingkungan sosial dan anggapan bahwa bahasa Indonesia lebih berguna untuk pendidikan dan dalam hal bersosialisasi dengan orang dari berbagai latar belakang, sejalan dengan pandangan Crystal (2000), “If a language is seen to have no future, no usefulness in education, no value in the workspace, no prestige in the society, then younger generation will not learn it”. Bahasa akan ditinggalkan jika tidak lagi dianggap berguna dalam kehidupan sehari-hari, terutama oleh generasi muda. Oleh karena itu, memahami dinamika ini menjadi krusial sebagai dasar penyusunan strategi pelestarian bahasa daerah yang kontekstual dan berbasis keluarga.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif untuk mengkaji pola pewarisan dan pemerolehan bahasa dalam interaksi antar ibu (generasi pertama) dan anak-anak mereka (generasi kedua) di Desa Rasau Jaya Tiga, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Fokus utama diarahkan pada dua hal, yakni cara ibu-ibu yang memiliki keturunan Jawa dalam menggunakan atau tidak menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu ketika berkomunikasi dengan anak-anak mereka, serta cara dari anak-anak mereka yang lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang menggunakan bahasa Melayu dalam memperoleh dan menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Data diperoleh melalui observasi nonformal, dengan cara mendengarkan percakapan langsung di ruang-ruang publik seperti warung, kantor desa, halaman rumah, dan di depan sekolah, sehingga interaksi yang terekam bersifat alami dan tidak dibuat-buat.
Analisis dilakukan dengan teknik analisis isi untuk menemukan kecenderungan pilihan bahasa dalam berkomunikasi sehari-hari, termasuk dalam konteks penggunaan bahasa Jawa, Melayu, dan Indonesia. Selain mencermati frekuensi penggunaan, analisis ini juga akan mempertimbangkan latar sosial keluarga dan lingkungan tempat tinggal sebagai faktor yang memengaruhi praktik kebahasaan. Pendekatan ini dipilih karena sesuai dengan prinsip etnografi komunikasi yang berusaha memahami makna penggunaan bahasa dalam konteks sosial secara utuh.
Hasil dan Pembahasan
Percakapan antara ibu dan anak di lingkungan Desa Rasau Jaya Tiga ini memperlihatkan dinamika bahasa yang menarik antar generasi. Para ibu yang berasal dari layar belakang etnis Jawa umumnya masih menggunakan bahasa Jawa saat membimbing anak-anak mereka, sedangkan anak-anak mereka yang lahir dan tumbuh besar di Kalimantan Barat khususnya di Rasau Jaya Tiga ini lebih terbiasa untuk memakai bahasa Melayu atau Indonesia dalam kegiatan sehari-hari. Perbedaan ini mencerminkan bahwa pemilihan bahasa bukan sekadar memilih bahasa apa yang akan nantinya kita gunakan, tetapi juga sebagai bentuk dari adaptasi sosial dan budaya di tengah kehidupan masyarakat yang beragam etnis. Untuk menelusuri fenomena ini lebih jauh, penjelasan di bawah ini akan membahas tentang hasil temukan dari pemerolehan bahasa ibu di Rasau Jaya Tiga.
Pola Pewarisan Bahasa oleh Ibu Penutur Bahasa Jawa
Dalam keseharian masyarakat Rasau Jaya Tiga, relasi antara ibu dan anak mencerminkan proses pewarisan bahasa yang berlangsung secara dinamis dan tidak selalu linear. Para ibu, khususnya yang berasal dari latar belakang suku Jawa, umumnya masih menggunakan bahasa Jawa ketika berinteraksi dengan anak-anak mereka, terutama dalam konteks yang bersifat pribadi, menegur, atau bercanda di dalam rumah. Akan tetapi, penggunaan bahasa ini seringkali bersifat adaptif, tergantung kepada respons anak dan situasi komunikasi. Dalam kondisi tertentu, ibu beralih ke bahasa Indonesia atau bahasa Melayu apabila merasa bahwa anak kurang memahami makna atau maksud dalam bahasa Jawa. Sebagaimana ditegaskan oleh Fishman (1991), keberlangsungan bahasa minoritas sangat bergantung pada transmisi antargenerasi dalam ranah keluarga. Pergantian bahasa semacam ini mencerminkan adanya fleksibilitas linguistik yang dilakukan secara sadar oleh para ibu demi menjaga efektivitas komunikasi di tengah keragaman bahasa yang melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kalimantan Barat.
Keputusan para ibu untuk tidak secara konsisten mewariskan bahasa Jawa juga tidak terlepas dari cara pandang mereka terhadap nilai-nilai kegunaan bahasa tersebut dalam kehidupan anak-anak mereka. Meski memiliki identitas etnis Jawa yang kuat, para ibu umumnya memahami bahwa anak-anak mereka tumbuh dan bersosialisasi dalam lingkungan yang didominasi oleh bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, baik di sekolah, tempat bermain, maupun ruang publik lainnya. Dalam konteks ini, Gal (1979) menyatakan bahwa pergeseran bahasa seringkali berkaitan erat dengan persepsi terhadap kekuatan sosial dan ekonomi dari bahasa dominan. Kesadaran ini turut memengaruhi arah transmisi bahasa, ketika bahasa ibu secara perlahan mengalami reduksi fungsi dan digantikan oleh bahasa yang lebih dominan secara sosial. Fenomena ini memperlihatkan terjadinya pergeseran bahasa antargenerasi yang tidak hanya bersumber dari dinamika hubungan keluarga, melainkan juga dipengaruhi oleh realitas sosial, konstruksi identitas kultural, serta kebutuhan praktis untuk beradaptasi dalam masyarakat multibahasa seperti di Desa Rasau Jaya Tiga.
Pemerolehan Bahasa oleh Anak Generasi Kedua
Pemerolehan bahasa oleh anak-anak generasi kedua dalam keluarga etnis Jawa di Desa Rasau Jaya Tiga menunjukan dinamika yang kompleks. Meskipun orang tua, terutama ibu, masih aktif menggunakan bahasa Jawa dalam interaksi sehari-hari, hal ini tidak secara otomatis membuat anak-anaknya mengaku memahami sebagian ujaran dalam bahasa Jawa, terutama dari konteks yang sering mereka dengarkan, namun mereka tidak memiliki kemampuan untuk merespons balik menggunakan bahasa yang sama. Fenomena ini menunjukan terjadinya pemisahan antara pemahaman reseptif dan produksi aktif, yang kerap menjadi ciri pemerolehan bahasa minoritas di lingkungan yang didominasi oleh bahasa Indonesia atau dialek Melayu lokal.
Sebagian anak memperoleh paparan bahasa Jawa tidak hanya dari interaksi dengan orang tua, tetapi juga dari media sosial dan konten daring. Mereka kerap menjumpai kosakata atau ungkapan Jawa dari unggahan video, meme, atau komentar di platform digital. Meskipun demikian, paparan pasif seperti ini belum cukup untuk membentuk kompetensi berbahasa yang utuh. Anak-anak lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia atau varian lokalnya seperti bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi utama karena merasa lebih nyaman dan percaya diri. Hal ini sejalan dengan pandangan Fishman (1991( yang menyatakan bahwa pemerolehan bahasa minoritas memerlukan ekosistem sosial yang mendukung dan mengakui nilai pragmatis bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Interaksi Lintas Generasi dalam Praktik Bahasa Sehari-hari
Interaksi antara orang tua dan anak di lingkungan keluarga di Desa Rasau Jaya Tiga memperlihatkan pola komunikasi yang mencerminkan keberlangsungan nilai budaya di tengah perubahan bahasa. Para orang tua, terutama generasi pertama transmigran dari Jawa, umumnya tetap menggunakan bahasa Jawa dalam keseharian di rumah, baik ketika menyampaikan nasihat, berbicara santai, maupun mengekspresikan emosi. Sementara itu, anak-anak mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Melayu, yang mereka peroleh dari interaksi sosial di sekolah dan lingkungan sekitar. Meski jarang membalas dalam bahasa Jawa, anak-anak umumnya tetap memahami tuturan orang tuanya. Hal ini menandakan terjadinya bilingualisme pasif, yakni ketika pemahaman terhadap suatu bahasa tetap terjaga meskipun tidak aktif digunakan. Fenomena ini sejalan dengan pandangan Fishman (1991) bahwa keluarga merupakan domain kunci dalam pewarisan bahasa antargenerasi, sekaligus arena kompromi saat terjadi pergeseran bahasa akibat tekanan lingkungan eksternal. Dalam konteks ini, keberlangsungan komunikasi lebih diutamakan daripada keseragaman bahasa yang digunakan.
Fleksibilitas ini menunjukan bahwa keluarga multietnis di Desa Rasau Jaya Tiga tidak sekadar mempertaankan bahasa sebagai simbol identitas, melainkan menjadikan bahasa sebagai alat untuk menjaga kohesi sosial dalam rumah tangga. Anak-anak yang tidak aktif menggunakan bahasa Jawa tetap mewarisi nilai-nilai budaya leluhur melalui sikap, ekspresi, dan norma yang tersirat dalam interaksi keluarga. Seperti yang dikemukakan oleh Wardhaugh (2006), bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cerminan hubungan sosial yang terjalin di dalamnya. Dengan demikian, pewarisan budaya tidak hanya bergantung pada kesinambungan penggunaan bahasa secara formal, tetapi juga pada keberanjutan praktik budaya melalui komunikasi lintas generasi yang toleran dan adaptif. Fenomena ini menunjukan bahwa dalam keluarga bilinggual atau multilingual, keharmonisan lebih diutamakan daripada kepatuhan terhadap satu bahasa tertentu, selama nilai-nilai tetap terjaga dalam relasi sosial sehari-hari.
Faktor Sosial Budaya yang Memengaruhi Pilihan Bahasa
Pemilihan bahasa dalam komunikasi lintas etnis di Desa Rasau Jaya Tiga sangat dipengaruhi oleh dinamika sosial budaya yang membentuk kehidupan masyarakat setempat. Asal usul etnis, nilai-nilai yang dijunjung dalam keluarga, serta pola interaksi antarkelompok menjadi elemen penting dalam membentuk kebiasaan berbahasa. Keluarga-keluarga transmigran, terutama yang berasal dari Jawa, umumnya masih mempertahankan bahasa daerah sebagai identitas kultural, namun dalam praktik sehari-hari, generasi muda lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia yang terpengaruh logat Melayu. Perubahan ini terjadi bukan semata karena pergeseran kemampuan berbahasa, tetapi juga sebagai bentuk penyesuaian sosial terhadap lingkungan baru yang lebih hetegogen. Seperti yang diungkapkan oleh Holmes (2013), pemilihan bahasa kerap kali mencerminkan hubungan sosial yang ingin dibangun oleh penutur, baik untuk menunjukan kedekatan maupun untuk menegaskan identitas kelompok tertentu.
Di lingkungan masyarakat Rasau Jaya Tiga, percampuran budaya antarwarga dari berbagai latar belakang seperti, Jawa, Bugis, Dayak, dan Melayu menciptakan situasi sosial yang relatif terbuka. Dalam kondisi seperti ini, penggunaan bahasa Indonesia dengan logat lokal berkembang sebagai alat komunikasi utama yang dianggap paling netral dan dapat diterima semua pihak. Kehadiran bahasa ini dalam percakapan sehari-hari tidak hanya memudahkan komunikasi, tetapi juga memperkuat rasa kebersamaan antar etnis. Grosjean (2010) menjelaskan bahwa dalam komunitas bilingual yang multikultural, pilihan bahasa sangat bergantung pada siapa yang diajak bicara dan konteks situasi yang dihadapi. Oleh karena itu, di Rasau Jaya Tiga, preferensi terhadap bahasa Indonesia bukan hanya merupakan keputusan linguistik, melainkan juga refleksi dari kesadaran kolektif masyarakat untuk menjaga keharmonisan sosial dan menunjukan sikap saling menghargai dalam keberagaman.
Kesimpulan
Pergeseran bahasa yang terjadi di Desa Rasau Jaya Tiga mencerminkan proses pewarisan bahasa Jawa yang berlangsung secara dinamis dan tidak selalu berjalan lurus. Para ibu dari generasi pertama umumnya masih mempertahankan penggunaan bahasa leluruh dalam interaksi keluarga, terutama dalam konteks yang bersifat emosional dan personal. Akan tetapi, respons anak-anak terhadap bahasa tersebut tidak selalu sama, sebagian besar dari mereka lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Melayu atau menggunakan bahasa Melayu lokal dalam percakapan sehari-hari. Meskipun demikian, anak-anak masih memiliki pemahaman reseptif terhadap bahasa Jawa, yang menunjukan bahwa bahasa tersebut belum sepenuhnya hilang, melainkan telah bergeser fungsinya dalam ruang domestik.
Di sisi lain, pilihan bahasa dalam kehidupan sehari-hari sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial budaya. Lingkungan yang multietnis, tuntutan untuk beradaptasi, serta persepsi terhadap nilai guna bahasa menjadi pertimbangan utama dalam menentukan bahasa yang digunakan, terutama oleh generasi muda. Meski penggunaan bahasa Jawa semakin jarang terdengar di ruang publik, nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya tetap diwariskan secara halus melalui kebiasaan, sikap, dan norma dalam keluarga. Dengan memahami dinamika ini, pelestarian bahasa ibu dapat diarahkan melalui strategi yang lebih kontekstual, yakni dengan memperkuat ruang interaksi lintas generasi sebagai medium utama pembentukan identitas kultural dan keberlanjutan warisan bahasa.
Daftar Pustaka
Fishman, Joshua A. Reversing language shift : theoretical and empirical foundations of assistance to threatened languages. Multilingual Matters, 1991. Accessed 30 July 2025.
Gal, S. Language Shift: Social Determinants of Linguistic Change in Bilingual Austria. Academic Press., 1979.
Grosjean, François. Bilingual: Life and Reality. Harvard University Press, 2010. Accessed 30 July 2025.
Penulis : Emmanuela Prita Hening Emuttesa, Mahasiswa Prodi Bahasa Dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM, KKN-PPM Unit 2025-KB001 Rasau Jaya, Kab. Kubu Raya, Kalimantan Barat
Artikel ini telah dimuat di kompasiana.com