Ada yang istimewa di Dusun Ngrandu, Desa Jati. Sesuatu yang tidak akan kau temukan di tengah gemerlap kota besar. Sesuatu yang tersembunyi di sela-sela petak sawah dan di bawah langit Magelang yang seringnya biru. Sesuatu itu bernama harapan. Harapan yang tumbuh dari langkah-langkah kecil dan suara-suara mungil.
Semua bermula saat senja belum sepenuhnya turun. Saat itulah sandal-sandal jepit itu mulai berdatangan ke pelataran masjid. Satu per satu, lalu berbondong-bondong. Anak-anak dengan wajah bersih sehabis mandi sore, membawa buku Iqra yang beberapa di antaranya sudah sedikit usang. Mereka tidak sedang bermain. Mereka sedang mengantri untuk sebuah ilmu.
Di sana, kakak-kakak mahasiswa KKN sudah menunggu. Mereka datang dengan niat mengajar, berbagi sedikit dari apa yang mereka punya. Tapi mereka keliru. Di dusun ini, mereka justru lebih banyak belajar.

Lihatlah anak-anak itu. Mereka mengantri dengan tertib, menunggu giliran agar lisannya fasih melantunkan ayat-ayat suci. Mata mereka berbinar, bukan karena dijanjikan hadiah, tapi karena janji akan pemahaman. Mereka tidak hanya mengejar ilmu dunia yang diajarkan di sekolah pagi harinya. Bagi mereka, ilmu akhirat adalah bekal yang sama pentingnya. Sebuah harapan kecil untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Semangat itu tidak padam saat buku Iqra diganti dengan buku matematika atau bahasa Indonesia. Ketika kakak-kakak KKN membuka sesi bimbingan belajar, anak-anak itu kembali datang dengan semangat yang sama. Mereka bertanya, mencoba, dan tertawa saat melakukan kesalahan. Tidak ada paksaan. Hanya ada keinginan murni untuk tahu.

Tapi dari semua pelajaran yang mereka berikan, ada satu pelajaran yang justru datang dari arah sebaliknya. Pelajaran yang tidak ada di buku mana pun.
Itu terjadi di sela-sela kesibukan. Saat para mahasiswa mungkin sedang asyik berdiskusi atau beristirahat melepas lelah, tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu posko. Di baliknya, berdiri beberapa anak dengan senyum polos mereka sambil menenteng mukena dan sajadah.”Mas-Mbak KKN, sholat yuk.”
Sebuah kalimat sederhana. Bukan perintah, melainkan ajakan tulus. Sebuah pengingat yang datang dari hati yang paling murni. Di saat orang dewasa sering kali perlu diingatkan oleh alarm jam, anak-anak ini menjadi pengingat hidup akan panggilan Tuhan. Saat itu, para mahasiswa itu tersadar. Siapa yang sebenarnya sedang belajar di sini? Siapa yang sedang KKN?

Harapan itu ternyata sesederhana itu. Ia tidak butuh gedung megah atau kurikulum canggih. Ia hanya butuh hati yang tulus dan semangat yang menyala-nyala. Dan di Dusun Ngrandu, harapan itu hidup dalam setiap langkah kecil menuju masjid, dalam setiap pertanyaan di sesi bimbingan belajar, dan dalam setiap ketukan di pintu yang mengingatkan tentang waktu bersujud.
Di Dusun Ngrandu, suara harapan tidak berteriak—ia berbisik lembut dalam keseharian. Dalam lantunan adzan yang memanggil pulang, dalam tatapan mata yang tak menyerah, dalam semangat gotong royong yang tidak pernah padam. Dan disanalah kami belajar, “bahwa menjadi bagian dari perubahan bukan soal seberapa besar yang kita bawa, tapi seberapa dalam kita hadir untuk mereka.”
Penulis : Luthfi Massaid, Mahasiswa Prodi Bahasa Inggris Sekolah Vokasi UGM, Sedang melaksanakan KKN-PPM di Sawangan, Magelang
Artikel ini dimuat di kompasiana.com