
Desa Ranupane yang terletak tepat di bawah kaki Gunung Semeru, menyimpan segudang fakta menarik, salah satunya tanaman tomeo yang tumbuh subur di dalamnya.
Valmay, mahasiswa KKN-PPM UGM unit 2025-JI020 Jagadhita Mahameru berkesempatan untuk menggali keunikan dari tanaman tomeo. Tahukah Kawan apa itu tanaman tomeo?
Asal Mula Tanaman Tomeo
Tomeo merupakan tanaman yang berasal dari Taiwan. Di Indonesia, tumbuhan ini sejatinya dikenal dengan nama tanaman kacang kapri. Daun dari kacang kapri yang sudah dipanen dan dipasarkan inilah yang kemudian disebut tomeo.
Tanaman ini mulai dibudidayakan di Desa Ranupane sejak tahun 2005. Pada tahun 2005, seseorang berkewarganegaraan Taiwan datang ke Desa Ranupane dengan membawa bibit tomeo kemudian menawarkannya pada petani setempat. Melihat potensinya yang cukup besar, maka petani setempat tertarik untuk membudidayakannya.
Tomeo merupakan tanaman yang unik karena hanya bisa hidup pada musim kemarau. Biasanya, petani-petani di Desa Ranupane menanamnya di bulan April, Mei, hingga Juni. Di luar dari bulan tersebut, tomeo tidak dapat tumbuh dengan maksimal.
Hal ini disebabkan karena tumbuhan tersebut rentan terhadap hujan, di mana daunnya akan berbintik di bagian bawah permukaan daun sehingga tidak dapat dijual.
“Tomeo itu tanaman yang aneh dan bukan tanaman yang mudah dibudidayakan, jadi tidak semua orang bisa menanam,” ungkap Gono, petani tomeo.
Budidaya Tanaman Tomeo
Tomeo sudah dapat dipanen pada usia 40 hingga 50 hari. Setelah panen pertama, tumbuhan itu bisa dipanen kembali dengan jarak 1 minggu dari panen sebelumnya. Masa panennya sendiri berlangsung 2,5 bulan.
Ketika musim kemarau dan cuaca bagus, tomeo bisa dipanen hingga 10 kali. Perawatan yang cukup sulit membuat tomeo hanya dibudidayakan oleh segelintir petani yang ada di Desa Ranupane.
Tomeo yang sudah dipanen hingga 10 kali, apabila dibiarkan tumbuh dan berbunga akan menghasilkan kacang kapri. Perbedaan daun tomeo dengan daun kacang kapri terletak pada ketebalannya.
Daun tomeo lebih tebal dibandingkan dengan daun kacang kapri, sehingga memiliki tekstur dan rasa yang cenderung lebih enak. Kacang kapri yang dihasilkan dari tomeo, apabila dipanen dalam kondisi tua, maka keringnya akan sempurna dan dapat dijadikan bibit untuk masa tanam selanjutnya.
Namun, jika kacang kapri yang dipanen dalam kondisi hijau, maka buahnya akan layu dan kempis sehingga tidak dapat dijadikan bibit untuk masa tanam selanjutnya.
Tak hanya unik, tomeo memiliki pasar yang luar biasa baik di dalam maupun luar negeri. Petani Desa Ranupane yang membudidayakannya banyak yang bekerja sama dengan perusahaan Taiwan untuk menjual hasil panennya dengan sistem kontrak.
“Kami sistemnya kontrak dengan pihak Taiwan, kami hanya menjual hasil panen, tidak mengurus pemrosesannya, dan kontrak itu diperbarui setiap tahunnya,” jelas Buhari, salah satu petani.
Harga yang didapatkan oleh petani yang bekerja sama dengan perusahaan Taiwan adalah Rp35.000,00/kg. Akan tetapi, terdapat juga petani yang menjual hasil panennya secara mandiri. “Saya biasa kirim ke Jakarta, satu kilonya Rp150.000,00 kalau diambil di rumah, kalau diantar sampai ke Jakarta ya Rp300.000,00/kg,” tutur Gono.
Gono merupakan petani tomeo yang awalnya membudidayakan tanaman ini dan bekerja sama dengan perusahaan Taiwan selama 5 tahun. Akan tetapi, setelah melihat perbedaan harga yang cukup jauh, maka ia mulai membudidayakan tomeo secara mandiri sejak tahun 2020.
Selain pasar lokal dan Taiwan, tomeo memiliki pasar di Dubai dan Jepang. Saat ini, Gono tengah mengusahakan agar hasil panennya bisa tembus ke pasar tersebut.
Kegiatan ini secara langsung mendukung ketahanan pangan di Kab. Lumajang dan Tujuan Pembangunan/SDGs khususnya pada SDGs tujuan 2 Tanpa kelaparan, yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, meningkatkan nutrisi, dan mempromosikan pertanian berkelanjutan. Selain itu juga mendukung pencapaian SDGs tujuan 8 Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi berfokus pada promosi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja penuh dan produktif, serta pekerjaan yang layak untuk semua orang.
Penulis : Wilhelmina Alexandra Valmay Putri Aberth, Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM yang sedang melaksanakan KKN-PPM di Ranupane, Kec. Senduro – Kab. Lumajang