
Di Dusun Pamona, Desa Sidogedungbatu, Kecamatan Sangkapura, Kabupaten Gresik, sebuah wilayah di pesisir Pulau Bawean, ada menyimpan banyak kisah yang menghangatkan hati. Salah satunya adalah tradisi tahunan yang sangat dinanti: Petik Laut atau kerap dikenal dengan Selametan Pelabuhan.
Petik Laut menjadi ruang di mana syukur terhadap Sang Pencipta dinyatakan bersama-sama, melalui doa dan sedekah hasil bumi yang diberikan kepada laut. Bagi masyarakat Dusun Pamona di Desa Sidogedungbatu, Pulau Bawean, laut adalah ciptaan Tuhan yang harus dirawat dan dihormati. Mereka tidak memperlakukan laut sebagai tempat “mengambil” semata, melainkan juga sebagai tempat berbagi dan menyambung silaturahmi dengan alam. Nilai-nilai seperti ukhuwah (persaudaraan), syukur, doa bersama, hingga amal sedekah berpadu dalam ritual Petik Laut yang meriah sekaligus religius. Anak-anak belajar dari orang tua mereka bahwa menjaga laut juga bagian dari menjaga amanah Allah.
Sebelum sesaji berupa hasil bumi dan kepala kambing dilarung ke laut dalam perahu kecil, masyarakat berkumpul di pelabuhan atau mushola terdekat untuk membaca tahlil dan sholawat Nabi Muhammad SAW.
Doa-doa dipimpin oleh tokoh agama setempat, disertai dengan suasana khusyuk dan kekeluargaan. Ini bukan hanya ritual adat, tetapi juga bentuk pendekatan diri kepada Sang Pencipta.
Perahu kecil ini, bagi masyarakat, adalah simbol harapan. Sesaji itu bukan untuk “memberi makan laut”, tetapi sebagai tanda syukur dan sedekah, karena laut telah menjadi ladang rezeki dan kehidupan.
Tahun ini, para mahasiswa KKN PPM UGM Baweanesia 2025 turut serta meramaikan kegiatan ini. Bukan hanya datang melihat, mereka pun larut dalam suasana, ikut duduk bersila dalam doa, mengabadikan momen, bahkan ikut melarung hasil bumi ke laut. Siapa sangka, dari sebuah tradisi sederhana, mereka menemukan pelajaran besar tentang makna hidup, gotong royong, dan rasa syukur yang membumi.
Petik Laut di Dusun Pamona adalah bukti bahwa agama dan budaya tidak harus bertentangan. Justru, dalam masyarakat yang dekat dengan alam, nilai-nilai Islam hidup berdampingan dengan kearifan lokal. Syukur, tawakal, dan sedekah bukan hanya konsep teologis, tapi benar-benar dirasakan dan dilakukan.
Melalui Petik Laut, masyarakat diajarkan untuk tidak serakah, tidak merusak laut, dan saling menjaga satu sama lain. Nilai-nilai ini sejalan dengan ajaran Islam tentang menjaga amanah di muka bumi, termasuk menjaga lingkungan.
Bagi mahasiswa KKN PPM UGM Baweanesia 2025, tradisi ini membuka mata bahwa Indonesia begitu kaya—bukan hanya sumber daya alamnya, tetapi juga nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam setiap ritual kecil. Dari Petik Laut, mereka belajar bahwa berterima kasih bisa dilakukan dengan cara yang indah, bersama-sama, dan penuh hormat terhadap alam dan sesama manusia.
Mereka pulang membawa lebih dari sekadar laporan kegiatan. Mereka membawa rasa haru, kebanggaan, dan semangat untuk terus menjaga tradisi dari hal-hal yang paling dasar—dari laut, dari desa, dari doa-doa sederhana yang tulus.

Di tengah gelombang modernisasi dan derasnya perubahan zaman, tradisi seperti Petik Laut adalah napas panjang dari sejarah, budaya, dan iman yang terus menjaga arah. Ia bukan hanya soal melarung sesaji atau berkumpul di pelabuhan, melainkan tentang menjaga ingatan kolektif bahwa alam bukan benda mati, alam adalah ciptaan Allah yang harus diperlakukan dengan hormat.
Karena dari desa kecil ini, kita belajar bahwa cinta pada lingkungan bukan harus dimulai dari wacana besar. Ia bisa berawal dari rasa cukup, dari sedekah kecil kepada laut, dari doa yang tulus agar nelayan pulang dengan selamat. Warga Dusun Pamona tidak hanya mengambil, tetapi mereka adalah penjaga, perawat, dan yang mendapat manfaat. Dan dari masyarakat desa, lahir nilai bahwa merawat alam adalah bagian dari ibadah; bagian dari rasa syukur yang paling hakiki.
Penulis : Liyana Amalina, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada yang sedang melaksanakan KKN-PPM di Bawean