
Halo Kawan GNFI, kami para petualang punya rangkaian cerita seru nih! Di lereng Gunung Merapi, berdiri sebuah desa yang memeluk langit—Desa Tegalmulyo. Desa tertinggi di Kabupaten Klaten ini bukan hanya terkenal karena panorama alamnya yang memukau dan udara sejuk yang memeluk setiap tamu yang datang. Namun, juga karena semangat warganya yang tak pernah pudar, bahkan ketika kabut tebal menyelimuti sore hari.
Pada suatu sore yang dingin, tim KKN UGM JT-016 “Petualang Kemalang” mendapat kesempatan istimewa: merangkul ibu-ibu tangguh Desa Tegalmulyo dalam sebuah kegiatan penuh warna dan makna—pelatihan batik Shibori dan ecoprint.
Kegiatan ini menjadi bagian dari program pemberdayaan masyarakat yang kami rancang untuk menggali potensi kreatif sekaligus memperkuat kemandirian perempuan desa.
Pelatihan ini dikomandoi oleh dua mahasiswa sub-unit Tegalmulyo, Zulfa Ariani dan Shita Aiswarya, yang memandu jalannya kegiatan dengan penuh tawa, canda, dan kehangatan.
Sesi dimulai dengan pemaparan materi. Zulfa terlebih dahulu mengenalkan batik Shibori, sebuah teknik pewarnaan kain asal Jepang yang mengandalkan metode ikat-celup.
Kain dilipat, diikat, atau dijepit mengikuti pola tertentu, kemudian dicelupkan atau ditetesi pewarna. Hasilnya? Pola-pola unik yang tak pernah sama, seolah setiap helai kain punya kisahnya sendiri.
Shita kemudian melanjutkan dengan mengenalkan ecoprint—sebuah teknik mencetak motif alami menggunakan daun dan bunga. Prosesnya memanfaatkan kandungan zat tanin pada tanaman, yang direaksikan dengan bahan pengikat warna seperti tawas, sehingga motif dapat tercetak alami dan tahan lama di kain.
Para peserta tampak terkesima ketika mengetahui bahwa daun jati, daun jarak, atau bahkan bunga liar di pekarangan rumah mereka dapat menjadi motif indah bernilai seni tinggi.
Setelah teori, tibalah saat yang paling dinanti: praktik langsung. Peserta dibagi menjadi dua kelompok—satu kelompok menggarap batik Shibori, kelompok lainnya mencoba ecoprint. Peralatan pun disiapkan: kain mori, karet gelang, pewarna, totebag, plastik, palu, selotip, hingga dedaunan segar yang baru saja dipetik dari sekitar desa.
Meski udara menusuk kulit dan kabut kian menebal, semangat para ibu-ibu tak goyah. Mereka saling membantu memilih motif, mengikat kain, atau memukul daun di atas kain untuk menorehkan warna alami.
Tawa sesekali pecah, terutama ketika motif yang muncul tak sesuai perkiraan, tetapi tetap memukau mata.
Anak-anak yang ikut hadir memberi semangat, bahkan beberapa dengan rasa ingin tahu tinggi mencoba teknik sederhana dari kegiatan ini.
Suasana sore itu menjadi hangat, bukan karena matahari yang tak tampak, tetapi karena interaksi yang tulus dan kolaborasi yang erat. Setiap ikatan kain dan setiap pukulan palu seperti menenun kebersamaan yang tak kasat mata.
Ketika sesi praktik selesai, tibalah momen memamerkan hasil. Satu per satu kain dibuka dari ikatan atau lembaran plastiknya. Wajah para ibu pun berseri-seri melihat karya mereka. Warna-warna cerah berpadu dengan motif alami yang unik, kontras dengan langit kelabu di luar.
Ada rasa bangga yang tak bisa diukur, sebab setiap karya bukan sekadar kain, melainkan potret kreativitas dan keberanian mencoba hal baru.
Bagi kami, kegiatan ini lebih dari sekadar pelatihan keterampilan. Ini adalah ruang belajar kreatif, tempat ide-ide lahir, dan jembatan yang mempererat silaturahmi antara warga dan tim KKN.
Harapan kami sederhana, namun besar: semoga pelatihan ini menjadi titik awal lahirnya produk-produk kreatif berbasis potensi lokal. Siapa tahu, suatu saat nanti Desa Tegalmulyo akan dikenal sebagai sentra kerajinan batik Shibori dan ecoprint di lereng Merapi.
Sebuah identitas baru yang tumbuh dari tangan-tangan terampil, dedaunan sederhana, dan semangat yang tak pernah luntur—bahkan di tengah kabut pekat sekalipun.
Penulis: Mahasiswa KKN-PPM UGM Petualang Kemalang 2025 JT016 Kemalang, Kab. Klaten
Artikel ini telah tayang di goodnewsfromindonesia.id