RCE ASIA PACIFIC VIRTUAL YOUTH SUMMIT 2.0
Pada Rabu, 25 September 2019 pukul 11.00 wib (14.00 waktu Australia) telah dilaksanakan RCE AP Virtual Youth Summit 2.0 yang merupakan agenda tahunan RCE Youth AP untuk mengapresiasi proyek berbasis pemuda yang menyokong pelaksanaan Sustainable Development Goals (SDGs). Untuk Indonesia, difailitasi di Ruang Sidang 3, DPKM (Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat), Universitas Gadjah Mada. Setelah sukses pada tahun 2018 dan mendapatkan pengakuan dalam berbagai kesempatan sebagai program rujukan dunia, RCE Youth AP menyelenggarakan kembali tahun 2019 ini dengan fokus ke SDGs Goal 1,6, dan 10 yang inti besarnya mengajak tiap warga dunia untuk memikirkan solusi-solusi atas social equity atau kesetaraan sosial. Terdapat 7 presenter dari belahan dunia berbeda yaitu Amerika, Australia, India, Malaysia, dan Vietnam. Bertindak sebagai moderator adalah Brittany Hardiman (RCE AP Youth Leader) dan Emmy Yuniarti Rusadi (RCE AP Youth Leader-Deputy). Ketujuh presenter tersebut adalah Serena Dressel (RCE Greater Portland, USA), Maziah Rosly (RCE Central Semenanjung, Malaysia), Brittany Foutz (RCE Atlanta, USA bersama Melissa Sanchez dari RCE Borderland Mexico, USA), Ajay Kumar (India), Ruchira Nigam dan Asif Ahmad Siddiqui (RCE Lucknow, India), Michelle Boyle (RCE Greater Western Sydney), serta Phat Nguyen (UNESCO Youth, Vietnam). Seluruh presenter memberikan masukan, pandangan contoh solusi nyata, serta bagaimana strategi pelaksanaan proyek mereka dapat berjalan serta memberikan dampak. Misalnya Serena yang menjalankan program melalui restorasi sungai dan pengadaan workshop khusus di wilayah bersejarah Portland dengan total keterlibatan volunteer lebih dari 30.000 sejak awal. Ada sekitar 23 anggota RCE yang terlibat dalam proyek yang terbaru. Kemudian adanya proyek kompetisi Exergaming yang dilakukan Maziah di Malaysia telah mendorong harapan dan kesempatan baik bagi para penyandang disabilitas di Malaysia. Melalui kompetisi permainan khusus tersebut, peserta dapat menularkan semangat berkelompok, bersosialiasi, kesehatan fisik dan mental pun turut terjaga (SDG Goal 10). Masalah di dunia ini ternyata juga pelik, seperti masalah yang dihadapi seputra imigran yang menumpuk sehingga muncullah ide pembimbingan para imigran itu melalui gagasan sistem Caravan oleh Brittany Foutz dan Melissa Sanchez. Hak hidup bagi mereka juga diperhatikan. Kemudian ada contoh lain mengenai bagaimana pemuda dunia mengatasi masalah perubahan iklim yang dipadukan dengan aksi sosial di India, proyek bernama Teach for Green (salah satu presenter yang masih terus menjalankan programnya hingga kini) di puluhan sekolah khususnya sekolah pendidikan dasar dan menengah di India oleh Ajay Kumar. Perempuan-perempuan muda juga diajari bagaimana mengolah sampah anorganik, membersihkan sungai sekitar mereka yang tercemari sampah padat, dll. Dampak dari hal ini adalah pengetahuan untuk menjaga lingkungan bisa dilakukan oleh tiap pribadi, tanpa harus menanti banyak hal. Kemudian masih di India, terdapat proyek sanitasi (SDG Goal 6) di wilayah padat penduduk di Luckno, India. Salah satu kawasan yang memiliki sisi panjang pergumulan sosial karena tingkat kemiskinan yang terjadi, sehingga akses terhadap air bersih menjadi isu penting. Tanpa adanya CSR sekalipun , mereka bekerjasama dengan universitas-universitas dan komunitas di Lucknow meneliti limbah pada air dan bagaimana menyalurkan sumber air bersih ke warga. Lebih lanjut, sumber pendanaan yang selalu jadi momok pergerakan sosial menjadi terpatahkan. Ternyata, kekuatan sosial yang berjalan disana lebih dapat diterima, kerjasama dan kolaborasi. Ada pula proyek di Lucknow yang dilakukan oleh Michelle Boyle tentang [enyediaan paket alat mentruasi praktis di sana. Tantangannya, harga paket ini masih sekitar 35 AUS Dollar sehingga butuh lebih banyak kolaborasi untuk menciptakannya menjadi lebih murah bagi perempuan muda di Lucknow, India. Terakhir, Phat Nguyen yang menjadi salah satu inspiratory muda di Vietnam melalui kegiatan Chay Nhat (Run and Pick up) yang mendorong pengurangan sekitar 1.000 gelas plastic (setidaknya) pada 2019 saat salah satu kegiatan berlari sambil memungut sampah dilakukan di pinggiran pesisir Vietnam Selatan. Pada 2018, kegiatannya melibatkan massa warga yang banyak sehingga masuk ke dalam liputan berbagai Koran dan UNESCO. Ke depan, ada masukan untuk membuat hasil temuan programnya ke dalam publikasi ilmiah atau hal yang lebih statistic misalnya dampak sampah plastic yang terkumpul serta bagaimana pengolahan limbah yang terpungut itu selanjutnya, mengingat Vietnam masih menerapkan sistem Piling ampah, belum sepenuhnya digarap. Sebagai penutup, Brittany Hardiman menyampaikan bahwa SDG Challenge yang dinisiasi oleh RCE Greater Western Sydney dan RCE Yogyakarta ini akan terus berlanjut, pada 2020 nanti akan fokus ke SDG Goal nomor 11, 12, dan 15 sehingga seluruh pemuda dunia tetap bisa berpartisipasi pada SDG Challenge 2020 tersebut. Serta, sebagaimana Emmy Yuniarti Rusadi sampaikan, dari seluruh presentasi tersebut akan memicu lebih banyak solusi tumbuh dalam masyarakat kita untuk membangun, terus bergerak dan mematahkan mitos0mitos seperti masalah pendanaan yang dapat diselesaikan dengan memulai dan kolaborasi. Kerjasama seluruh pihak khususnya yang dimotori oleh pemuda menjadi harapan pembangunan berkelanjutan terus dapat tercapai. RCE Youth AP berterimakasih kepada sleuruh pihak yang terlibat, mendukung serta memfasilitasi kegiatan ini. Sampai jumpa pada RCE Youth AP Virtual Youth Summit 3.0 pada 2020. Demikian, seluruh info terkini dan program RCE dapat diikuti atau diakses melalui www.rcenetwork.org