Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat
  • Beranda
  • 1.MENGHAPUS KEMISKINAN-rce
Arsip:

1.MENGHAPUS KEMISKINAN-rce

Kumpulan Kegiatan 2019

1.MENGHAPUS KEMISKINAN-rce Saturday, 24 October 2020

SDG 1 menggunakan berbagai sudut pandang untuk menggambarkan kemiskinan, dan karenanya membutuhkan berbagai tanggapan yang terkoordinasi. Pemerintah daerah berada pada posisi yang ideal untuk dapat mengidentifkasi masyarakat yang hidup dalam kemiskinan dengan lebih dekat, dan memberikan sumber daya dan pelayanan untuk membantu membebaskan mereka dari kemiskinan secara tepat sasaran. Tanggung jawab  terkait pelayanan dasar yang bersifat lokal, seperti air dan sanitasi, menjadikan kita sebagai mitra utama untuk mencapai SDG 1. Kita juga dapat memainkan peran penting untuk mengentaskan kemiskinan dengan mengembangkan strategi pengembangan ekonomi lokal, meningkatkan pendapatan dan membangun ketahanan masyarakat terhadap potensi-potensi bencana.

Sejak 1964 UGM Aktif dalam Pengentasan Kemiskinan

1.MENGHAPUS KEMISKINAN-rce Friday, 13 March 2020

 

Pengentasan kemiskinan melalui program Demonstrasi Massal (Denmas) menjadi Bimbingan Masyarakat (Bimas) hingga terbentuknya Koperasi Unit Desa telah dilakukan oleh UGM sejak tahun 1964. Sejumlah Mahasiswa Fakultas Pertanian diterjunkan untuk mendampingi masyarakat dalam meningkatkan hasil produksi pertanian, pengolahan hasil pertanian, hingga model pengelolaan ekonomi yang pro petani.

Program Denmas jadi Binmas

Sejak tahun 1964 UGM aktif dalam program pengentasan kemiskinan. Pada tahun tersebut Mahasiswa Fakultas Pertanian diterjunkan ke desa-desa untuk melakukan demonstrasi massal (Demas) untuk meningkatkan produksi padi melalui aktivitas panca usaha pertanian. Peran UGM dalam pengentasan kemiskinan sejalan dengan program Pelita I (1969) yakni peningkatan taraf hidup rakyat dan meletakkan dasar-dasar pembangunan dalam tahapan berikutnya dengan berfokus pada pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Program Demas berubah menjadi Bimas (Bimbingan Massal) karena permasalahan pangan tidak hanya tentang meningkatkan produktivitas pertanian akan tetapi lebih dari itu bagaimana kondisi perekonomian petani bisa meningkat. Program Bimas tidak hanya tentang bagaimana cara men ingkatkan produktivitas panca usaha, namun juga terkait pengelolaan hasil pertanian untuk membangun masyarakat yang berkekuatan secara ekonomi. Sehingga terjadi perubahan program Denmas menjadi Bimas.

Prof. Soedarsono Hadisapoetra (kiri) dalam kegiatan pengembangan BUUD/KUD (Dok. UGM)

 

Konsep BUUD-KUD

Keberhasilan peningkatan jumlah produksi padi dari program Bimas tidak serta merta menyelesaikan permasalahan secara keseluruhan. Walaupun terjadi peningkatan di sektor produksi, petani tetap mengalami kesulitan dalam pengembalian kredit yang diberikan oleh pemerintah. Menanggapi permasalahan tersebut, Fakultas Pertanian UGM mengajukan konsep (Badan Usaha Unit DesaKoperasi Unit Desa) BUUD-KUD. Dalam hal ini, Prof. Ir. Soedarsono Hadisapoetro, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM mengajukan konsep pilot proyek Bimas. Bimas merupakan program perbaikan dari Denmas yang disempurnakan dengan Unit Desa. Perbaikan yang diusulkan oleh Prof. Soedarsono diantaranya: 1). Lima kegiatan di pedesaan (percontohan, penyuluhan, penyaluran saprodi, perkreditan, dan pemasaran) tidak ditangani satu badan; 2). Kegiatan yang bersifat non ekonomi ditangani pemerintah dan kegiatan ekonomi diserahkan ke perusahaan negara, swasta, dan koperasi; 3) Lembaga-lembaga ekonomi dapat dimanfaatkan langsung oleh petani, dan 4). Koperasi tetap dibina

dan mengambil bagian dalam kegiatan ekonomi pedesaan.

 

Konsep pilot proyek yang telah disepakati oleh Dewan Pembina Bimas DIY langsung dilaksanakan saat musim tanam tahun 1969. Unit Desa yang terlibat berjumlah 18 yang masing-masing Unit Desa meliputi lahan (sawah seluas 6000-1000 ha). Setiap Wilayah Unit Desa dilengkapi dengan Catur Sarana Unit Desa, yaitu: 1). Kios sarana produksi; 2). BRI Unit Desa; 3). Penyuluhan Unit Desa (PPL); dan 4). Badan Usaha Unit Desa/Koperasi Unit Desa (yang kemudian disebut BUUD/KUD. Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM diterjunkan langsung selama kurang lebih enam bulan di setiap Unit Desa untuk membimbing Bimas Unit Desa. Adapun fungsi dari masing-masing Unit Desa diantaranya adalah: 1). Kios sarana produksi berfungsi menyediakan pupuk, pestisida, bibit dan peralatan pertanian lainnya; 2). BRI berfungsi untuk menyediakan modal bagi petani untuk membeli sarana produksi; 3). Penyuluhan Pertanian Lapangan (PPL) berfungsi memberikan penyuluhan dan membimbing petani tentang macam teknologi dan cara penggunaan serta manfaatnya bagi petani ; dan 4). Koperasi Unit Desa berfungsi untuk tempat penjualan produksi padi/hasil pertanian. Hal ini sebagai upaya mengatasi permasalahan yang sering terjadi yakni agar petani tidak dipermainkan oleh tengkulak pada saat panen raya.

 

Proyek Bangun Desa hingga Bina Desa Pedalaman

1.MENGHAPUS KEMISKINAN-rce Friday, 13 March 2020

 

Kiprah UGM dalam program pengentasan kemiskinan telah dilakukan sejak lama. Pada tahun 1986, UGM, melalui P3PK berperan aktif dalam mengawal program peningkatan kesejahteraan masyarakat desa yang juga memberikan dampak pada pegembangan wilayah.

Peranan UGM tahun 1986

1977 merupakan awal mula lahirnya proyek Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN). Bukan perjalanan yang mudah bagi program PIR-BUN untuk mewujudkan tujuan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia. Namun, sejak tahun 1980-1981 program PIR-BUN mengalami kemajuan yang relatif pesat. Akan tetapi kemajuan tersebut tidak membuat proyek PIR-BUN melalui masa kritisnya. Tahun 1986, Salah satu program pengentasan kemiskinan telah dilakukan oleh UGM, dalam hal ini melalui Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK) yang bekerjasama dengan Tim Khusus Proyek Perkebunan Berbantuan Direktorat Jenderal Perkebunan.

Penelitian tentang penyerapan tenaga kerja pada proyekproyek Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIRBUN) pada tahun 1986 di ketuai oleh Prof. Mubyarto. Program PIR-BUN sendiri menekankan pada peningkatan produksi perkebunan (sektoral) sehingga memberikan dampak pada pengembangan wilayah. PIR-BUN

tidak hanya menjadi sebuah proyek pertumbuhan dengan pemerataan namun juga dari segi ekonomi politik. Dahulu, perkebunan identik dengan warisan kolonial dan sistem eksploitasi namun melalui PIR-BUN pandangan tersebut berubah menjadi “agent of development”.

Riset PIR BUN

Riset yang dilakukan oleh P3PKUGM tentang PIR-BUN adalah untuk melihat sejauh mana perencanaan PIR-BUN, dalam kasus ini Kalimantan Barat, dapat menyerap tenaga kerja baik secara langsung dan tidak langsung; mulai dari awal persiapan, pelaksanaan hingga perkiraan selesainya proyek. Secara spesifik riset yang dilakukan oleh P3PK-UGM adalah untuk menginventarisasi tingkat penyerapan tenaga kerja dalam proyek PIR, jumlah tenaga kerja yang bisa diserap, inventarisasi peranan PIR-BUN dalam pembangunan wilayah dan lokasi sekitar yang terdampak proyek tersebut. Inventarisasi masalah dan keberhasilan PIRBUN sebagai acuan dalam penentuan arah kebijakan selanjutnya.

Mubyarto bersama Imam Soetiknjo dan tim lainnya ketika melakukan survey lahan transmigrasi di Kalimantan Barat (Dok. UGM)

Mubyarto ketika mengunjungi area PIR Khusus Swadana di Kalimantan Barat
(Dok. UGM)

Kegagalan upaya pembangunan

Tanggal 3 s.d. 9 Mei 1985, Prof. Mubyarto beserta tim berkesempatan meninjau proyek PIR-BUN di PTP VI, VIII dan V di Sumatera Barat dan Riau. Pengembangan proyek PIR juga merupakan alternatif pemencaran hasil pembangunan dan sekaligus meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Prof. Mubyarto dan tim P3PK UGM menunjukan bahwa faktor penting yang menyebabkan gagalnya upaya-upaya pembangunan, khususnya di pedesaan adalah karena upaya pembangunan tersebut dilakukan dengan kurangnya memperhatikan potensi sosial, ekonomi, dan budaya lokal. Sehingga menimbulkan penolakan-penolakan dan menimbulkan kejutan budaya (cultural shock).

Hal yang perlu digaris bawahi dalam upaya pembangunan pendekatan yang perlu dilakukan adalah menyesuaikan karakteristik yang ada di lokasi sasaran terlebih yang memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi. Hasil temuan riset dalam program pengentasan kemiskinan melalui pengembangan masyarakat pedesaan untuk mening-katkan taraf hidup masyarakat adalah belum terciptanya hasil seperti yang diharapkan hingga proyek yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat setempat. Permasalahan tersebut disebabkan oleh pendekatan program yang tidak menggunakan konsep pendekatan usulan dari bawah (bottom up planning), atau sekalipun usulan berasal dari bawah, tidak ada kejelasan sampai di mana proses upnya.

Solusi Kegagalan

Berdasarkan hal tersebut, PIR merupakan alternatif pengembangan dari usaha pemerintah melalui transmigrasi umum. Dimana pola transmigrasi umum telah mendapatkan banyak permasalahan yang berkaitan dengan aspek agronomis, khususnya untuk lokasi pengembangan untuk tanaman pangan sehingga tangga marjinal tidak sesuai lagi jika digunakan untuk pola transmigrasi umum karena berdampak pada harapan hidup yang kurang diharapkan. Melalui PIR-BUN usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin lebih terarah. Khususnya dalam pola transmigrasi umum dan transmigrasi yang dikaitkan de-ngan program PIR.

 

`

Prestasi Pokmas dalam Program Inpres Desa Tertinggal

1.MENGHAPUS KEMISKINAN-rce Friday, 13 March 2020

 

Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) berupa dana bergulir merupakan upaya pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan. Analisis profil pokmas IDT berprestasi yang dilakukan P3PK-UGM menjadi ajang pembelajaran bagi pokmas-pokmas lainnya. Program program pengentasan kemiskinan telah dilakukan Indonesia sejak tahun 1969

dengan mengimplementasikan program Inpres sebagai bagian dari Perencanaan Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pemerintah Indonesia telah meluncurkan program-program yang senada untuk melanjutkan dan memperbaiki kebijakan yang telah terimplementasi sebelumnya seperti program IDT (Inpres Desa Tertinggal) pada tahun 1994-1997. Program peningkatan penanggulangan kemiskinan atau IDT merupakan program yang didasari oleh Instruksi Presiden (Inpres) No. 5/1993.

Misi IDT

Program IDT sendiri merupakan program dana bergulir yang dikelola oleh kelompok dan disalurkan kepada anggota dalam bentuk pinjaman yang harus dikembalikan kepada kelompok dengan persyaratan yang telah disepakati anggota. Misi program IDT adalah pemberdayaan penduduk dan desa miskin dengan harapan mereka mampu mengejar ketertinggalan dan dapat meningkatkan perekonomian keluarga. Salah

satu upaya penting IDT selain pemberian modal usaha dan penyelenggaraan kegiatan secara kelompok adalah pendampingan bagi kelompok-kelompok masyarakat dalam penyelenggaraan usaha dan pengorganisasian kelompok.

Kiprah UGM

Kiprah UGM dalam program IDT salah satunya adalah penelitian tentang “profil organisasi kelompok masyarakat miskin (pokmas) IDT berprestasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)”. Riset tentang profil pokmas berprestasi tersebut dimaksudkan agar penerima program IDT dapat mencetak prestasi-prestasi sehingga tujuan program IDT untuk mengentaskan masyarakat miskin, kurang mampu, atau tertinggal dapat mencapai hasil sesuai tujuan dari program IDT.

Riset yang telah dilakukan oleh P3PK-UGM terkait profil pokmas berprestasi yang bekerjasama dengan pemerintah daerah tingkat I (DIY) merupakan salah satu bentuk kontribusi dalam penanggulangan kemiskinan melalui analisis dan deskripsi yang lengkap mengenai keberadaan, kemajuan yang dicapai, permasalahan yang dihadapi maupun harapan-harapan yang diinginkan oleh Pokmas. Adapun indikator yang digunakan dalam penelitian pokmas berprestasi meliputi kekompakan kelompok, kedisiplinan kelompok, kedisiplinan anggota, ketepatan usaha bagi anggota, keaktifan pengurus, dan ketertiban administrasi.

Riset IDT

Hasil riset yang telah dilakukan P3PK-UGM terkait program IDT seperti kemajuan yang dicapai pokmas diantaranya:

  1. faktor-faktor terkait peningkatan pendapatan
  2. pemanfaatan potensi ekonomi dan pasar
  3. perkembangan usaha anggota

Keberhasilan program IDT tersebut tidak terlepas dari peran wanita yang juga turut serta berpartisipasi aktif, berusaha dan bekerja keras dalam upaya mewujudkan keberhasilan program IDT.

Temuan permasalahan yang berhasil dihadapi diantaranya adalah penentuan calon penerima dana IDT dan pengelolaan administrasi. Sedangkan permasalahan yang belum berhasil dihadapi misalnya keterbatasan kemampuan anggota dalam memperoleh peluang usaha ekonomi karena terbatasnya pengetahuan dan keterampilan teknis. Usulan dan harapan seperti program pembinaan teknis dari instansi terkait bagi anggota dan pengurus pokmas secara berkelanjutan, supaya menjadi pembelajaran bagi pokmas-pokmas lain untuk meningkatkan capaian program sehingga tujuan program IDT dapat tercapai.

Hasil kajian P3PK-UGM tentang program IDT kala itu menjadi masukan bagi pemerintah untuk memperbaiki serta meningkatkan program IDT baik dari segi kebijakan maupun aspek teknis dan nonteknis. Disamping itu, hasil riset tersebut juga menjadi motivasi baik untuk anggota dan pengurus pokmas satu dengan lainnya untuk saling berbagi pengalaman kepada anggota lainnya. Dari hal itu diharapkan dapat memetik pembelajaran keberhasilan maupun hal-hal yang belum berhasil dilaksanakan untuk meningkatkan target capaian program IDT.

 

 

Evaluasi Program JPS untuk Penanggulangan Kemiskinan

1.MENGHAPUS KEMISKINAN-rce Friday, 13 March 2020

 

Jaring pengaman sosial (JPS) sebagai upaya penyelamatan ekonomi sebagai landasan bagi pelaksanaan kegiatan ekonomi normal yang berkelanjutan. Menanggapi permasalahan yang timbul dari JPS peneliti P3PK-UGM aktif dalam riset evaluasi program JPS.

Penyimpangan JPS

Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia, sudah diluncurkan berbagai macam program pengentasan kemiskinan diantaranya adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT). Program program tersebut merupakan upaya pemerintah dalam menanggulangi kesenjangan sosial yang sudah dirancang untuk jangka panjang. Namun demikian, programprogram tersebut akhirnya terhenti karena krisis ekonomi mengharuskan pemerintah mengeluarkan program instan yang bersifat murni sebagai upaya penolongan (rescue) masyarakat yang disebut dengan program Jaringan Pengaman Sosial (JPS).

JPS merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk menanggulangi krisis dan memaksimalkan masyarakat untuk terlibat aktif dalam melaksanakan pembangunan. Arah perkembangan program JPS sendiri dimulai sejak tahun 1998/1999 dengan beberapa kali dilakukan penyempurnaan sesuai dengan kondisi masyarakat dan perkembangan situasi ekonomi. Beberapa masukan dan koreksi yang berkembang di masyarakat menunjukkan adanya berbagai penyimpangan dalam program JPS tersebut.

Evaluasi JPS

Penelitian evaluasi JPS yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK) Universitas Gadjah Mada (UGM)
yang bekerja sama dengan Tim Pengendali JPS menemukan berbagai penyimpangan pada masing-masing bidang pelaksanaan JPS, seperti misalnya penyimpangan sasaran. Sehingga banyak keluhan yang disampaikan secara langsung melalui media masa maupun melalui korespondensi. Selain itu, pakar ekonomi kerakyatan UGM yang juga aktif di P3PK UGM, Prof. Mubyarto, membenarkan bahwa evaluasi program JPS perlu dilakukan untuk mencapai tujuan awal diadakannya program JPS.
Program JPS yang diadakan saat krisis di Indonesia membuat pemerintah kurang tepat dalam menetapkan sasaran program JPS. Penyebab ketidaktepatan sasaran, seperti; Jumlah penduduk miskin yang semakin bertambah, sehingga data penduduk miskin yang ada tidak lagi relevan. Penentuan orang miskin yang dijadikan sasaran tidak lagi merata, karena yang mendapatkan program JPS merupakan kelompok miskin baru. Sedangkan kelompok miskin yang lama dalam jumlah besar terabaikan. Pemerintah yang saat itu tidak ingin mengambil resiko diprotes oleh daerah tertentu memutuskan untuk menerapkan program JPS di seluruh Indonesia, walaupun besaran dana yang diberikan tidak sama atau menyesuaikan dengan data-data usulan.
Kondisi tersebut diperparah dengan fakta bahwa program JPS adalah suatu proyek sehingga pimpinan proyek berhak mengatur honor orangorang yang terlibat di dalamnya. Selain itu, sistem

kelembagaan dan jajaran aparat birokrasi belum siap menyelenggarakan program JPS dalam waktu yang singkat. Berdasarkan permasalahan yang timbul saat itu, tim peneliti P3PK-UGM dan tim pengendali JPS melakukan berbagai penelitian terkait evaluasi program JPS untuk mempertajam penanggulangan kemiskinan guna menciptakan kemandirian masyarakat.

Temuan UGM dalam evaluasi JPS

Penelitian tentang evaluasi JPS yang telah dilakukan P3PK-UGM “Studi Evaluasi JPS di Beberapa daerah di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta” dan “Dari JPS ke Penanggulangan Kemiskinan” menyimpulkan bahwa program penanggulangan kemiskinan masih tetap dibutuhkan masyarakat, namun perlu dilakukan penyempurnaan untuk menjaga keberlanjutannya. Program JPS tidak lagi diarahkan untuk secara langsung mengatasi dampak krisis, namun lebih diarahkan untuk mengatasi kemiskinan yang bersifat laten.

Upaya yang bisa dilakukan adalah penajaman program untuk mengarahkan kembali program
pemberdayaan masyarakat yang diimbangi dengan kelembagaan lokal (institutions building). Kedua komponen utama tersebut diharapkan dapat menjaga keberlanjutan (sustainable) program. Upaya pemberdayaan kelembagaan lokal dilakukan dengan penyempurnaan instrumen antara lain; penajaman sosialisasi program, pendampingan, dan pengawasan/pembinaan untuk pelestarian program.
Sosialisasi program tidak dilakukan hanya pada kulit luarnya saja namun harus mencapai pada substansi program yang dijalankan. Sosialisasi tersebut memerlukan proses tawar dengan masyarakat lokal dan tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba. Secara garis besar, program tersebut harus mampu menciptakan sistem yang bisa dipakai masyarakat lokal untuk memberdayakan diri terutama dalam mengatasi sumber-sumber pembiayaan. Sesuai dengan arah kebijakan politik tentang otonomi daerah, seyogyanya pengentasan kemiskinan mampu membentuk micro finance yang dikelola oleh masyarakat dan juga untuk masyarakat.

 

Program JPS disasarkan kepada warga yang kekurangan seperti ibu-ibu di Kulonprogo. (Dok. UGM)

Universitas Gadjah Mada

Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Gadjah Mada

Jl. Pancasila Bulaksumur UGM, Blok G7,
Yogyakarta, Indonesia 55281
+62-274-552432
  +62-274-6492082, +62-274-6492083

whatsapp : 08112576939 (KKN)

 dit.pengabdian@ugm.ac.id
 Sekretariat DPKM : sekdit.dpkm@ugm.ac.id
Telepon Internal UGM : 82488(Sekretariat), 82486(KKN), 82490(Pemberdayaan Masyarakat).

 

© Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY