Berangkat dari kemiskinan, rantai masalah terhubung pada persoalan aksesibilitas fasilitas publik, yang muaranya akan kembali berputar pada persoalan kemiskinan. Universitas Gadjah Mada sebagai perguruan tinggi dengan nilai tridharma yang melekat, secara tidak langsung berkewajiban untuk menjawab tantangan bangsa ini.
Ketimpangan sebagai salah satu masalah sosial di Indonesia, terjadi akibat adanya gap keadilan. Mantan Kepala Pusat Studi Pembangunan Perencanaan Regional (PSPPR) periode 2008-2012, Prof. Dr. R. Rijanta, M.Sc menyampaikan bahwa kemiskinan termasuk salah satu isu yang melekat pada buntut persoalan ketimpangan. Berangkat dari kemiskinan, rantai masalah terhubung pada persoalan aksesibilitas fasilitas publik, yang muaranya akan kembali berputar pada persoalan kemiskinan. Gap akan selalu ada. Oleh sebab itu Universitas Gadjah Mada sebagai perguruan tinggi dengan nilai tridharma yang melekat, secara tidak langsung berkewajiban untuk menjawab tantangan bangsa ini.
Pusat Studi Pembangunan Perencanaan Regional (PSPPR UGM) melalui Agam Marsoyo, R Rijanta, dan Dodi Widiyanto membuahkan sebuah pemikiran untuk mengentaskan persoalan kemiskinan. Ketika mayoritas kebijakan bahkan akademisi memilih optimalisasi sektor-sektor formal untuk menurunkan angka kemiskinan, PSPPR justru menawarkan pengembangan sektor informal untuk mengentaskan secara langsung pemiliknya dari jurang kemiskinan. Home Based Enterprises (HBEs) merupakan keluaran konseptual yang ditawarkan oleh tiga akademisi Universitas Gadjah Mada pada tahun 2014. Melalui sebuah pemikiran mengenai konseptual usaha ekonomi berbasis rumah (HBEs), terbukti sektor informal mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada keluarga miskin perkotaan. Program ini mendapatkan berbagai dukungan termasuk dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional sejak penggodokannya di tahun 2012.
Sosialisasi Program G2R Tetrapreneur (sumber: ugm. ac.id)
Menyusul PSPPR UGM, pada tahun 2018 Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM DIY) bersama UGM turut menyumbangkan pemikiran konseptual untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Program Global Gotong Royong (G2R) Tatrapreneur yang dikonsep oleh Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, Rika Fatimah, P.L., S.T., M.Sc., Ph.D berangkat dari cita-cita untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Adaptasi Program Saemaul Undong yang diinisiasi oleh Pemerintah Korea Selatan dinilai sebagai sebuah langkah yang efektif untuk menciptakan perekonomian masyarakat desa agar dapat terangkat secara mandiri oleh masyarakatnya sendiri. Program ini telah mendapatkan pengakuan secara internasional melalui berbagai kegiatan, salah satunya dalam ‘2018 World Local Government Culture Tourism Festival-Saemaul International Forum’ di Korea Selatan.
Semaul International Forum di Korea Selatan (sumber: ugm.ac.id)
Persoalan kemiskinan saat ini, coba ditangkal melalui banyaknya upaya menanamkan prinsip kewirausahaan. Pada tahun 2010, UGM bekerja sama dengan Recoqnition and Mentoring Program Institut Pertanan Bogor (RAMP-IPB) menyelenggarakan One Day Technopreneurship Workshop. Project Officer Student Technopreunership Program RAMP-IPB, Ono Suparno, meyakini entrepreunership/technopreunership merupakan model pengembangan kewirausahaan guna menyelesaikan permasalahan pengangguran dari kalangan berpendididikan karena jumlah penganggur di Indonesia saat ini didominasi oleh kalangan terdidik.
Buku Mengentaskan Kemiskinan Melalui Usaha Ekonomi Berbasis Rumah Tangga
Melalui berbagai akumulasi pemikiran dan kerjasama lintas instansi, persoalan kemiskinan bukan hal yang mustahil untuk dientaskan. Tujuan Sustainable Development Goals poin ke 10 yaitu mengurangi ketimpangan terbukti dapat ditekan seiring dengan tingginya semangat untuk mengentaskan ketimpangan melalui berbagai cara. Lintas disiplin ilmu, lintas lembaga, lintas pemikiran, terbukti mampu menciptakan akumulasi pemikiran yang mutakhir untuk menekan persoalan buntut ketimpangan hingga akarnya.