Pembukaan undang-undang 1945 merupakan penjelmaan dari proklaasi kemerdekaan bangsa Indonesia ditinjau dari sudut pandang filsafat hukum dan ilmu hukum. UGM mengusulkan bahwa dalam membuat undang-undang harus selalu disesuaikan dengan asas dalam pembukaan UUD 1945.
Perjalanan Undang-Undang dasar 1945
Keadaan UUD 1945 pada masa perang dunia II dapat dibilang krisis seperti yang tertuang dalam risalah BPUPKI. Keadaan ini sempat membuat Presiden Soekarno memberikan pidato bahwa UUD ini masih bersifat sementara. UGM sebagai universitas nasional yang lahir dalam kancah perjuangan kemerdekaan mencoba melakukan penyelidikan mengenai Negara. Hasil-hasil kajian yang dilakukan UGM diterbitkan dalam sebuah buku, “Pemboekaan Oendang-Oendang Dasar 1945, Pokok Kaidah Fundamental Negara Republik Indonesia”. Materi dalam buku ini mampu menjadi bahan dalam pembicaraan Konstituante tentang Dasar Negara.
UGM juga melakukan penyelidikan terkait permasalahan pertahanan (undang-undang yang berlaku masih undang-undang buatan VOC tahun 1870) dengan disebarkannya angket agrarian di seluruh Jawa Timur, Jawa-Madura, serta provinsi-provinsi lain di Indonesia pada masa rektor Prof. Mr. Drs. Notonagoro tahun 1955. Penyelidikan ini memiliki kebermanfaatan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, pengajaran, dan sebagai dasar bagi pembangunan hukum agrarian di tanah air.
Kajian Ilmiah UUD 1945
Sesuai isi statuta tahun 1950, UGM adalah balai nasional ilmu pengetahun dan kebudayaan bagi pendidikan dan pengajaran, tugas ilmiah, dan tugas sosial-kultural. Tuntutan mengadakan penelitian praktis yang berguna bagi negara menjadi bagian penting pada masa tersebut. Kajian ketatanegaraan dilakukan oleh UGM pada tahun 1957. UGM membentuk panitia yang terdiri atas 11 guru besar, yakni Prof. Dr. M. Sardjito; Prof. Mr. A.G Pringgodigdo; Prof. Mr. Drs. Notonagoro; Prof. Mr. Moeljatno; Prof. Mr. Hardjono; Prof. Mr. Soehardi; Prof. Mr. Kertonagoro; Prof. Mr. Gondowardojo; Prof. Mr. Boedisoesetijo; Prof. Mr. Moh. Nasroun; dan Prof. Ir. Johannes.
Panitia ini menyusun sebuah naskah berjudul, “Pembahasan Ilmiah Mengenai Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia” yang dipersembahkan kepada beberapa instansi negara pada bulan Juni 1958. Hasil-hasil kajian inilah wujud sumbangsih UGM kepada negara. (LTR, 1960:6-7)
Filsafat Pancasila
Ketika situasi Indonesia ibarat telur di ujung tanduk karena adanya usaha-usaha untuk menggantikan Pancasila sebagai dasar Negara di masa demokrasi liberal (periode 1950 1959), Prof. Notonagoro muncul dengan konsep staatsfundamentalnoorms. Menurut Notonagoro, Pancasila sebagai dasar negara tidak dapat diubah oleh siapa pun. Selain itu, sifat dari staatsfundamentalnoorms adalah sesuatu yang hanya sekali terjadi. Konsep ini dianggap sebagai penyelamat bangsa dari adanya usaha-usaha untuk menggantikan pancasila sebagai dasar negara sehingga Presiden Soekarno saat itu mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Seminar Pancasila pada Februari 1959 (Dok. UGM)
Sebelumnya, pada tanggal 17 Februari 1959, Kagama berhasil menyelenggarakan Seminar Pancasila di Yogyakarta. Pancasila yang sudah dipahami sebagai dasar filsafat negara (philosophische gronslag) membuat Prof. Notonagoro melahirkan Filsafat Pancasila yang sampai sekarang wajib dipelajari di setiap perguruan tinggi. Filsafat Pancasila Notonagoro menguraikan dan menjelaskan peranan Pancasila dalam kehidupan bernegara.
Berlawanan dengan Plato, Notonagoro melihat manusia sebagai makhluk monodualis-monopluralis dengan unsur jiwa dan badan sebagai satu kesatuan. Manusia monopluralis mendukung keberadaan negara sekaligus pancasila sebagai jiwa negara, sedangkan monodualis manusia menjiwai sistem kemasyarakatan dan perekonomian bangsa Indonesia yang bersifat gotong royong, kekeluargaan, kerukunan hidup, dan hidup bersama yang berkeadilan.
Tidak berhenti di situ, UGM terus melakukan pemantauan terhadap negara akan prinsip-prinsip konstitusi sampai saat ini. Di tahun 2000an, UGM mengadakan Semiloka Kagama “Evaluasi Kritis atas Proses dan Hasil Amandemen UUD 1945” dengan menghasilkan beberapa pokok rumusan. Semiloka ini merekomendasikan pada sidang Tahunan MPR Agustus 2002 untuk berpegang teguh pada tiga pokok, yakni (1) melakukan sinkronisasi dan reorganisasi hasil amandemen pertama hingga ketiga; (2) melakukan amandemen pasal 37 UUD 1945 tentang pembentukan komisi konstitusi; (3) selama proses tersebut harus tetap berpegang teguh pada komitmen mempertahankan pembukaan UUD 1945.