Melacak jejak pemikiran dan karya UGM melalui pendekatan multidisiplin, Prof. Dr. M. Baiquni, MA mencetuskan Paradigma Archipelago pada pidato pengukuhan gurubesarnya tahun 2014.
Paradigma archipelago untuk memahami dan mewujudkan pengembangan wilayah kepulauan Indonesia yang bercirikan Bhinneka Tunggal Ika. Orientasi pengembangan wilayah kepulauan ini didasarkan pada pertimbangan berikut ini. Pertama, Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) di wilayah tropis yang memiliki keragaman ekosistem alam dan budaya terbesar di dunia. Kedua, Kepulauan ini memiliki sejarah panjang, lebih seribu tahun silam pernah memiliki peradaban maritim yang terkenal seperti Sriwijaya dan peradaban agraris yang unggul di sekitar Borobudur dan Prambanan. Ketiga, Indonesia memiliki posisi geostrategi penting diantara silang Benua Asia dan Australia serta silang Samudera Hindia dan Pasifik. Keempat, Indonesia sedang mengalami transisi perkembangan pesat yang perlu dikawal agar mampu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya di tengah pergaulan bangsa-bangsa dunia. Kelima, saat ini Indonesia sedang melakukan estafet kepemimpinan baru yang diharapkan mampu melakukan transformasi pembangunan berkelanjutan menjadi bangsa yang EMAS; ekonomi maju, masyarakat adil, dan kehidupan sejahtera (Baiquni, 2014).
Para ahli geografi menggunakan peta sebagai sarana untuk penggambaran objek-objek di muka bumi dengan menggunakan skala. Pada skala kecil akan tercakup wilayah yang luas dengan objek-objek pengamatan yang general dan pada skala besar akan tercakup wilayah yang sempit dengan objek-objek pengamatan yang semakin detail. Geografi juga mengkaji tentang keragaman fenomena di muka bumi. “Andaikata di permukaan bumi ini tidak ditemukan perbedaan serta keberagaman fenomena fisis, sosial, ekonomi, budaya, maka tidak ada dasar landasan keberadaan disiplin ilmu geografi” (Finch, 1957).
Geografi mengkaji bagaimana manusia membentuk, memodifikasi, dan mengubah bentuk-bentuk lingkungan alam sehingga menciptakan bentukan baru yang semakin kompleks sehingga tercipta lingkungan buatan dengan kehidupan baru. Manusia terus membentuk dan membangun dengan mengubah lingkungan alami menjadi lingkungan hasil konstruksi manusia (Peet, 1998). Jadi, fenomena kerusakan lingkungan, bencana banjir, polusi, kemacetan lalulintas, pemukiman kumuh, hingga kemiskinan bersumber pada sesat pikir dan ulah manusia dalam memahami dan mengelola lingkungan alam. Bencana alam dan bencana sosial lebih banyak diakibatkan karena cara pandang dan praktik pembangunan yang keliru. Bisa jadi, karena kita belum tahu atau karena tidak mau tahu, atau bahkan melawan hukum-hukum alam sekitar.
Paradigma Archipelago adalah cara pandang suatu teori maupun praxis yang mendasarkan pada kemajemukan masyarakat, keragaman ekosistem dan kompleksitas wilayah kepulauan. Bhinneka Tunggal Ika menjadi inspirasi untuk mengembangkan Paradigma Archipelago. Keragaman alam dan kemajemukan masyarakat di negara kepulauan berbeda dengan negara benua. Hingga saat ini, banyak pemikiran dan cara pandang geografi berangkat dari para ahli yang berasal dari negara maju kontinental (continental paradigm) yang belum tentu cocok untuk diterapkan dalam konteks wilayah kepulauan Indonesia.
Paradigma Archipelago diletakkan dalam konteks perkembangan wilayah kepulauan yang dapat dilacak dari sejarah peradaban Nusantara. Pasang surut perkembangan peradaban Nusantara selalu dinamis dengan pusat-pusat kekuasaan yang bergeser dan berubah dari satu pulau ke pulau lainnya. Paradigma Archipelago sebagai perspektif dalam pengembangan wilayah negara kepulauan Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika dapat dirumuskan pendekatan dalam mempelajari ilmu geografi sebagai berikut:
G = m x (ST)3
Geografi mempelajari manusia (m) dalam hubungan dengan lingkungannya secara spasial-Temporal (ST), Sosial-transformasional (ST), dan Spiritual-transendental (ST)
Tantangan peradaban yang semakin pesat dengan kemajuan teknologi dan kemakmuran gaya hidup menyebabkan kekhawatiran bagaimana bumi ini mampu memenuhi hajat hidup lebih dari 7 miliyar penduduk saat ini. Kinilah saatnya kita mengubah pola pikir dengan belajar dari sejarah peristiwa yang pernah terjadi pada masa silam. Pengembangan ilmu dan teknologi tidak hanya menekankan pada material dan kehidupan materialistis semata-mata, tetapi lebih mengarah bagaimana transformasi manusia menjadi berkualitas dengan spiritualitas yang tinggi berlandaskan iman dan taqwa dalam mengembangkan amal ibadahnya.
Implementasi Paradigma Archipelago merupakan cara pandang yang menghargai keragaman ekosistem dan kemajemukan masyarakat yang menempati wilayah kepulauan. Cara pandang tersebut sesuai dengan dalil bahwa “Semakin beragam suatu entitas, semakin kuat daya tahan ekosistem”. Setiap wilayah memiliki entitas alam dan budaya dengan kekhasan, keunikan, dan keunggulan masing-masing. Oleh karena itu, perlu ditumbuh-kembangkan sehingga Indonesia menjadi “Tamansari dunia”, tempat belajar yang memiliki semangat merayakan keberagaman dan penghargaan pada perbedaan yang sesungguhnya itu merupakan rahmat.
Sejak tahun 1983 para mahasiswa geografi melakukan penelitian di Pulau Lombok dengan pendekatan sebuah pulau. Selanjutnya melalui pendekatan multidisiplin dikembangkan bersama para peneliti muda UGM mengkaji berbagai kepulauan: antara lain Irian Jaya (sekarang Papua), Kepulauan Maluku, Kepulauan Nusatenggara, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Sumatra dan berbagai pulau kecil lainnya. 30 tahun setelah itu Prof. Dr. M. Baiquni, MA menyampaikan pidato pengukuhan gurubesar dengan topik Paradigma Archipelago. Kemudian sejak tahun 2014-2020 diselenggarakan Archipelago Action Research Expedition yang diharapkan akan berlanjut setalah itu terus dikembangkan oleh generasi muda Universitas Gadjah Mada. Beberapa nama yang aktif dalam mengikuti Archipelago Action Research Expedition antara lain; Prof. Dr. R. Rijanta, M.Sc.; Agung Satriyo Nugroho, M.Sc.; Izzuddin, M.Sc.; Ki Mujar Sangkerta, dan Ki Ardian Kresna (seniman budayawan), dll.
Archipelago Action Research Expedition 2014-2020 (sumber: archipelago ARE team)