27 September 1983, Prof. Dr.Ir Herman Johannes berhasil menemukan kompor tanpa asap dengan bahan bakar gabungan dari biomassa dan arang serta arang biomassa. Upaya Herman Johannes dalam memproduksi briket arang biomassa berbuah manis. Tahun 1993 UGM bekerja sama dengan PT. Tambang Batubara Bukit Asam dalam membudayakan penggunaan briket di pedesaan.
Tahun 1993 Universitas Gadjah Mada (UGM) telah menyiapkan penelitian dan pengembangan untuk membudayakan penggunaan briket batubara di kalangan ibu-ibu rumah tangga pedesaan. PT. Tambang Batubara Bukit Asam yang ditugaskan pemerintah untuk menangani proyek percontohan produksi briket batubara tersebut bekerjasama dengan UGM untuk merealisasikan “penggunaan briket batubara di pedesaan”. Penelitian dan pengembangan tentang bahan bakar non minyak terutama tumbuh-tumbuhan yang sudah tidak terpakai (briket) telah lama dilakukan oleh mendiang Prof. Dr. Ir. Johannes sejak akhir tahun 1979. Tanggal 27 September 1983, Herman Johannes berhasil menciptakan kompor dengan bahan bakar gabungan dari biomassa dan arang dan arang biomassa pertama di dunia tanpa asap.
Kompor tanpa asap tersebut terkenal dengan nama “Kompor BBA” (Kompor Bioarang Biomassa Asap). Kiprah UGM dalam bidang energi ramah lingkungan tidak berhenti sampai di situ. Mengingat besarnya potensi batubara di Indonesia, dimana cadangan batubara di Indonesia mencapai sekitar 34 miliar ton, dengan mutu yang bervariasi dari 1.000 hingga 8.000 kalori. Menurut data dari Encyclopedia Britannica, Indonesia memiliki cadangan batubara tipe bitusen sebesar 1960 x 10 meter kubik metric ton yang setara dengan 16,86% cadangan dunia. Karena hal tersebut, UGM yang memiliki 20 fakultas (kala itu-1993) dan pusat pusat penelitian dari berbagai disiplin ilmu mewujudkan kerja sama dengan PT. Tambang Batubara Bukit Asam selama lima tahun untuk berkolaborasi, saling memanfaatkan kemampuan satu sama lain untuk merealisasikan briket batubara untuk pedesaan.
Rektor ke 9 UGM, mendiang Prof. Dr. Mochamad Adnan juga memiliki cita-cita dan harapan yang besar terhadap masa depan pemanfaatan batubara Indonesia untuk kesejahteraan umat manusia. Dirut PT. Tambang Batubara Bukit Asam yang saat itu dijabat oleh Ibnu Soenanto dan Ir. Ace Purba sebagai direktur teknik menyatakan bahwa untuk memasyarakatkan arang briket batubara dibutuhkan 1 paket model, yakni model arang briket dan model tungku untuk masyarakat. Dibandingkan dengan penggunaan kayu bakar atau minyak, briket tersebut lebih irit. Pada tahun 1993 satu kilogram briket batubara seharga Rp 250 yang kapasitas panasnya setara dengan satu liter minyak tanah seharga Rp 400 hingga Rp 1.000.
Prof. Johannes dan Kompor Tanpa Asap Karyanya (Dok. UGM)
Penggunaan batubara sebagai bahan bakar memang masih didominasi oleh industri-industri besar seperti industri semen dan pembangkit listrik tenaga uap. Padahal diversifikasi batubara melalui briket batubara dapat digunakan industri kecil sebagai bahan bakar seperti misalnya industri kapur, pande besi, industri cor, bahkan untuk rumah tangga. Tahap awal kerjasama UGM dan PT. Tambang Batubara Bukit Asam menetapkan desa-desa yang menjadi pemasaran briket batubara. Beberapa lokasi terpilih diantaranya Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pengalihan penggunaan BBM ke briket batubara khususnya untuk rumah tangga dan industri kecil merupakan salah satu upaya untuk mengurangi impor minyak bumi.
Prof. Johannes menerima penghargaan dari Presiden Soeharto (Dok. UGM)
Industri kecil yang menggunakan briket batubara diantaranya: industri keramik, batu bata, genteng, kapur, pandai besi, dan pengecoran. Asosiasi pengusaha kapur di Yogyakarta juga antusias terhadap kerjasama yang dilakukan PT. Tambang Batubara Bukit Asam dengan UGM. Asosiasi pengusaha kapur menyatakan bahwa selama ini mereka menggunakan 160 liter minyak tanah setiap harinya. Asosiasi tersebut berniat untuk mengganti penggunaan minyak tanah ke briket batubara. Karena batubara memiliki sifat panas yang sangat tinggi sehingga PT. Tambang Batubara Bukit Asam dan UGM juga mempersiapkan tanur atau tobong yang sesuai untuk digunakan. Pada prinsipnya teknologi pembuatan briket cukup sederhana. Intinya briket tersebut dipakai untuk keperluan rumah tangga dan industri kecil sehingga harus memiliki karakter mudah dibakar, tidak berasap, dan tidak berbau. Dalam rangka memasyarakatkan briket, PT. Tambang Batubara Bukit Asam yang bekerjasama dengan UGM turut mempersiapkan anglo (tungku) yang di pesan di Bandung Plered (Cirebon) dan Ceper (Klaten). Tahun 1993 briket diproduksi berkisar antara 2.000 hingga 300.000 ton briket per tahun. Sehingga masyarakat yang kala itu menggunakan minyak tanah beralih menggunakan briket batubara untuk memenuhi kebutuhan energinya.