Indonesia sebagai negara berkembang, pernah mengalami kesulitan dalam membeli vaksin. Universitas Gadjah Mada melalui ketua regional untuk penelitian gastroentrologi anak-anak dan rotavirus di Indonesia dari FKKMK, Prof. Dr. Yati Soenarto, SpAK, Ph.D, melakukan pengembangan rotavirus, bersama penemu rotavirus pertama di dunia.
Di awal kemerdekaan, Indonesia, pernah mengalami kesulitan dan kekurangan bahan-bahan penting untuk obat-obatan akibat blokade musuh khususnya saat terjadi agresi belanda ke-1 dan ke-2 di Indonesia. Pada situasi yang serba terbatas, permohonan obat dan vaksin justru meningkat. Prof. Dr. Sardjito yang saat itu memimpin Perguruan Tinggi Kedokteran sekaligus memimpin Instuut Pasteur di Klaten pada tahun 1945-1947 kemudian mengupayakan berbagai penyelesaian atas kendala pembuatan obat dan vaksin. Melalui berbagai percobaan dan kegagalan, Prof. Dr. Sardjito kemudian menemukan berbagai vaksin baru diantaranya vaksin anti-pes, anti-kolera, tifus, disentri, anti-stafilokokern, anti-streptokoken, dan vaksin batuk. Hal ini tentunya sebagai bentuk peneguhan tugas atas produksi vaksin-vaksin yang dibutuhkan dan diminta dokter-dokter di Indonesia kala itu.
Indonesia sebagai negara berkembang juga pernah mengalami kesulitan dalam membeli vaksin jenis rotetaq dan rotarix. Vaksin tersebut berguna untuk mencegah infeksi rotavirus, penyebab diare di Indonesia. Tingginya harga jual kedua jenis vaksin saat itu menyebabkan Indonesia sebagai negara berkembang belum mampu membeli, terlebih memproduksi. Saat itu rotavirus merupakan salah satu penyebab diare berat hingga menyebabkan kematian 215.000 anak di bawah usia lima tahun. Berbagai kasus diare di Indonesia yang diakibatkan oleh virus ini menyebabkan 10.000 kematian anak, 200.000 rawat inap, dan 600.000 rawat jalan setiap tahun.
Universitas Gadjah Mada melalui ketua regional untuk penelitian gastroentrologi anak-anak dan rotavirus di Indonesia dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Prof. Dr. Yati Soenarto, SpAK, Ph.D kemudian menggandeng peneliti dari Mudroch Children’s Research Institute (MCRI) Australia, Prof. Ruth Bishop selaku penemu rotavirus pertama di dunia untuk mengembangkan rotavorirus bersama-sama. Rotavirus yang pertama ditemukan pada tahun 1976, kemudian dikembangkan agar tidak hanya dapat digunakan untuk bayi yang berusia lebih dari enam minggu, melainkan juga pada bayi yang baru lahir dan rentan terhadap infeksi rotavirus. Secara bertahap sejak 1990-an, penelitian dilakukan di Australia dan menghasilkan temuan adanya respon sistem imun terhadap vaksin dan kemampuan dalam melindungi diare berat pada bayi. Tahun 2013 hingga 2016, penelitian dilakukan di Indonesia dan menghasilkan bukti bahwa vaksin rotavirus jenis baru RV3-BB mampu menurunkan terjadinya peradangan pada saluran pencernaan (gastroentritis) rotavirus berat pada bayi.
Prof Yati penemu vaksin jenis baru RV3-BB (Sumber: ugm.ac.id)
Tim Penemu APLISIN (aplikasi pendeteksi vaksin palsu) (sumber: ugm.ac.id)
Pengerjaan yang telah selesai, telah melalui uji klinis (clinical trial) dan peningkatan imunogenitas vaksinnya atau daya memerangi virus. Prof. Yati bersama UGM bekerja sama dengan Melbourne University, dan PT Biofarma sepakat untuk memproduksi vaksin rotavirus secara masal di Indonesia pada tahun 2020 mendatang. Saat ini vaksin yang dibuat sudah diterima oleh berbagai organisasi internasional dan WHO serta para ahli. Di Indonesia sendiri, vaksin rotavirus jenis baru telah diujikan secara klinis di 25 puskesmas dan rumah sakit di Kabupaten Sleman dan Klaten dengan pemberian vaksin pada 1.649 bayi di lima hari pertamanya hingga usia 18 bulanan dalam tiga dosis tunggal. Harapannya vaksin RV3-BB dapat masuk dalam Program Imunisasi Nasional.
Berkat dedikasinya pada kemajuan bangsa melalui RV3-BB, mengantarkan Prof. Yati menuju penghargaan Bakrie Award pada tahun 2010. Penghargaan sebagai bentuk apresiasi atas pengembangan dan kemajuan dalam hal kebebasan, kebudayaan, dan pengetahuan Indonesia, selain untuk merangsang inovasi dan gagasan yang tidak biasa di lima bidang utama yaitu sains, teknologi, kesusastraan, pemikiran sosial, dan kedokteran.
Perkembangan vaksin yang signifikan di Indonesia, disertai kreativitas masyarakat termasuk dalam hal pemalsuan produk menyebabkan munculnya fenomena produksi masal vaksin palsu. Mengimbangi isu tersebut, pada tahun 2017 mahasiswa Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada melalui Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM UGM) membuat aplikasi berama APLISIN untuk membaca kode QR (Quick Response) di setiap botol vaksin yang diproduksi. Aplikasi dapat membaca seberapa banyak botol vaksin telah digunakan, termasuk keaslian vaksin yang saat ini belum mampu dijangkau secara menyeluruh oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kedepan tim pencipta APLISIN berencana untuk menggandeng BPOM dan beberapa industri pembuat vaksin guna mensosialisasikan kegunaan aplikasi APLISIN.