Jaring pengaman sosial (JPS) sebagai upaya penyelamatan ekonomi sebagai landasan bagi pelaksanaan kegiatan ekonomi normal yang berkelanjutan. Menanggapi permasalahan yang timbul dari JPS peneliti P3PK-UGM aktif dalam riset evaluasi program JPS.
Penyimpangan JPS
Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia, sudah diluncurkan berbagai macam program pengentasan kemiskinan diantaranya adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT). Program program tersebut merupakan upaya pemerintah dalam menanggulangi kesenjangan sosial yang sudah dirancang untuk jangka panjang. Namun demikian, programprogram tersebut akhirnya terhenti karena krisis ekonomi mengharuskan pemerintah mengeluarkan program instan yang bersifat murni sebagai upaya penolongan (rescue) masyarakat yang disebut dengan program Jaringan Pengaman Sosial (JPS).
JPS merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk menanggulangi krisis dan memaksimalkan masyarakat untuk terlibat aktif dalam melaksanakan pembangunan. Arah perkembangan program JPS sendiri dimulai sejak tahun 1998/1999 dengan beberapa kali dilakukan penyempurnaan sesuai dengan kondisi masyarakat dan perkembangan situasi ekonomi. Beberapa masukan dan koreksi yang berkembang di masyarakat menunjukkan adanya berbagai penyimpangan dalam program JPS tersebut.
Evaluasi JPS
Penelitian evaluasi JPS yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK) Universitas Gadjah Mada (UGM)
yang bekerja sama dengan Tim Pengendali JPS menemukan berbagai penyimpangan pada masing-masing bidang pelaksanaan JPS, seperti misalnya penyimpangan sasaran. Sehingga banyak keluhan yang disampaikan secara langsung melalui media masa maupun melalui korespondensi. Selain itu, pakar ekonomi kerakyatan UGM yang juga aktif di P3PK UGM, Prof. Mubyarto, membenarkan bahwa evaluasi program JPS perlu dilakukan untuk mencapai tujuan awal diadakannya program JPS.
Program JPS yang diadakan saat krisis di Indonesia membuat pemerintah kurang tepat dalam menetapkan sasaran program JPS. Penyebab ketidaktepatan sasaran, seperti; Jumlah penduduk miskin yang semakin bertambah, sehingga data penduduk miskin yang ada tidak lagi relevan. Penentuan orang miskin yang dijadikan sasaran tidak lagi merata, karena yang mendapatkan program JPS merupakan kelompok miskin baru. Sedangkan kelompok miskin yang lama dalam jumlah besar terabaikan. Pemerintah yang saat itu tidak ingin mengambil resiko diprotes oleh daerah tertentu memutuskan untuk menerapkan program JPS di seluruh Indonesia, walaupun besaran dana yang diberikan tidak sama atau menyesuaikan dengan data-data usulan.
Kondisi tersebut diperparah dengan fakta bahwa program JPS adalah suatu proyek sehingga pimpinan proyek berhak mengatur honor orangorang yang terlibat di dalamnya. Selain itu, sistem
kelembagaan dan jajaran aparat birokrasi belum siap menyelenggarakan program JPS dalam waktu yang singkat. Berdasarkan permasalahan yang timbul saat itu, tim peneliti P3PK-UGM dan tim pengendali JPS melakukan berbagai penelitian terkait evaluasi program JPS untuk mempertajam penanggulangan kemiskinan guna menciptakan kemandirian masyarakat.
Temuan UGM dalam evaluasi JPS
Penelitian tentang evaluasi JPS yang telah dilakukan P3PK-UGM “Studi Evaluasi JPS di Beberapa daerah di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta” dan “Dari JPS ke Penanggulangan Kemiskinan” menyimpulkan bahwa program penanggulangan kemiskinan masih tetap dibutuhkan masyarakat, namun perlu dilakukan penyempurnaan untuk menjaga keberlanjutannya. Program JPS tidak lagi diarahkan untuk secara langsung mengatasi dampak krisis, namun lebih diarahkan untuk mengatasi kemiskinan yang bersifat laten.
Upaya yang bisa dilakukan adalah penajaman program untuk mengarahkan kembali program
pemberdayaan masyarakat yang diimbangi dengan kelembagaan lokal (institutions building). Kedua komponen utama tersebut diharapkan dapat menjaga keberlanjutan (sustainable) program. Upaya pemberdayaan kelembagaan lokal dilakukan dengan penyempurnaan instrumen antara lain; penajaman sosialisasi program, pendampingan, dan pengawasan/pembinaan untuk pelestarian program.
Sosialisasi program tidak dilakukan hanya pada kulit luarnya saja namun harus mencapai pada substansi program yang dijalankan. Sosialisasi tersebut memerlukan proses tawar dengan masyarakat lokal dan tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba. Secara garis besar, program tersebut harus mampu menciptakan sistem yang bisa dipakai masyarakat lokal untuk memberdayakan diri terutama dalam mengatasi sumber-sumber pembiayaan. Sesuai dengan arah kebijakan politik tentang otonomi daerah, seyogyanya pengentasan kemiskinan mampu membentuk micro finance yang dikelola oleh masyarakat dan juga untuk masyarakat.
Program JPS disasarkan kepada warga yang kekurangan seperti ibu-ibu di Kulonprogo. (Dok. UGM)