Tepat 36 hari sudah saya dan teman-teman tim KKN-PPM UGM 2025 menjejakkan kaki di Dusun Sorogenen 1, Purwomartani, Kalasan. Saya datang pada 20 Juni 2025, berbekal tumpukan teori dari bangku kuliah Fakultas Hukum tentang Peraturan Daerah (Perda), partisipasi masyarakat, dan tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam benak saya, krisis sampah regional akibat penutupan TPA Piyungan adalah masalah utama yang akan kami bantu selesaikan.
Namun, Sorogenen 1 mengajarkan saya pelajaran yang jauh lebih berharga: sering kali, solusi terbaik tidak datang dari luar, melainkan telah berdenyut di dalam komunitas itu sendiri, jauh sebelum krisis menjadi berita utama. Artikel ini adalah catatan reflektif saya tentang bagaimana sebuah dusun di persimpangan jalan secara proaktif mengubah masalah menjadi berkah, dan bagaimana peran kami sebagai mahasiswa KKN adalah menjadi katalisator, bukan kreator utama.
Krisis sebagai Berkah Tersembunyi: Momentum yang Tepat
Kondisi darurat sampah di Yogyakarta memang menjadi pemicu 5 . Kebijakan desentralisasi pengelolaan sampah yang diamanatkan Pemkab Sleman melalui Perda No. 6 Tahun 2023 seolah memaksa setiap desa untuk mandiri. Namun, bagi Sorogenen 1, ini bukanlah paksaan, melainkan sebuah peluang emas.
Inisiatif yang telah mereka rintis bertahun-tahun lalu kini selaras sempurna dengan agenda prioritas pemerintah. Terlebih lagi, Kalurahan Purwomartani, lokasi dusun kami, telah ditunjuk oleh DLHK DIY sebagai salah satu dari sepuluh desa percontohan untuk pengelolaan sampah mandiri. Momentum ini menempatkan Sorogenen 1 pada posisi yang sangat strategis, bukan sebagai peminta bantuan, tetapi sebagai penawar solusi yang bisa menjadi etalase keberhasilan.
Inilah penemuan paling menarik selama KKN. Jauh sebelum ada kebijakan desentralisasi, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) Sorogenen 1 sudah bertindak. Merasa tidak ada solusi dari pemerintah daerah, mereka tidak pasrah. Mereka melakukan langkah cerdas yang menunjukkan kearifan lokal: studi banding ke wilayah Minggiran di Sleman untuk mempelajari model bank sampah.
Perjalanan belajar mandiri ini membuahkan hasil nyata: kini ada dua unit bank sampah aktif di dusun, dan perilaku positif seperti memungut botol di jalan hingga berkurangnya sampah di sungai mulai terlihat. Pengalaman ini kontras dengan kegagalan program “galon tumpuk”, sebuah metode kompos yang coba disosialisasikan namun tidak diadopsi warga 14. Mengapa gagal? Karena pendekatannya bersifat top-down dan tidak partisipatif, berbeda dengan bank sampah yang lahir dari kebutuhan dan inisiatif komunitas sendiri.
Sebagai mahasiswa hukum, ini adalah pelajaran fundamental. Kebijakan, sehebat apa pun di atas kertas, akan sia-sia jika tidak berakar pada aspirasi dan divalidasi oleh kebutuhan nyata masyarakat.
Penulis : Gatan Priantama, Mahasiswa Fakultas Hukum UGM yang sedang melaksanakan KKN-PPM di unit 2025-YO013 Kalasan Sleman
Sumber berita : https://www.kompasiana.com/kelanakalasan7911/68871b4dc925c468da66bfe2/dari-masalah-menjadi-berkah-catatan-kritis-mahasiswa-kkn-di-jantung-gerakan-sampah-purwomartani