Gama EWS berhasil diimplementasikan di 30 provinsi, 110 kabupaten/kota dan lebih dari 200 desa di seluruh Indonesia. Bahkan, penerapan alat EWS juga digunakan di luar negeri seperti di Myanmar. Dalam penerapannya, UGM bekerjasama dengan BNPB, BPBD maupun KPDT, serta di berbagai perusahaan bidang pertambangan dan energi.
Gadjah Mada Early Warning System
Gama EWS (Gama Early Warning System) merupakan sistem yang dirancang untuk memantau, mendeteksi, dan memberikan peringatan dini bahaya longsor. Sistem ini dilengkapi dengan teknikal sensor terdiri dari extensometer (alat deteksi pergerakan tanah secara lateral, vertikal atau relasional), tilt meter (alat deteksi perubahan posisi kemiringan permukaan tanah/batuan pada lereng), dan ultra-sonic water level (alat deteksi perubahan permukaan air pada alur sungai) yang terintegrasi dan terhubung dalam satu server dengan memori digital.
Gama EWS memiliki beberapa keunggulan, yakni mudah dipasang dan dipindahkan, dilengkapi tiap penyangga yang fleksibel, tidak menggunakan suplai listrik dari PLN (menggunakan tenaga surya), dan mudah diinstal dengan koneksi nirkabel.
Alat EWS (Dok. UGM)
Secara garis besar komponen GAMA-EWS terdiri dari (1) sensor yang berfungsi mengumpulkan dan mengirimkan data lapangan, (2) server dan sistem online untuk memantau data, dan (3) sistem peringatan untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat saat keadaan berpotensi bencana. Seluruh komponen bekerja secara otomatis melalui sistem telemetri yang memiliki sumber tenaga mandiri (panel surya) dan bersifat nirkabel, sehingga sistem peringatan dini bencana dapat bekerja secara lebih efektif, terutama daerah-daerah berpotensi bencana yang sering kali terletak di daerah terpencil.
Pada awal pengembangan, sistem ini hanya untuk bencana longsor, namun saat ini sudah dikembangkan untuk bencana banjir.
Sejarah Gama EWS
Gama EWS diciptakan oleh para peneliti dan tenaga ahli dari Universitas Gadjah Mada dan telah diuji coba di berbagai daerah rawan longsor. Di dalam proses penciptaannya, alat ini terinspirasi dari alat deteksi gempa asal Jepang yang dibawa ke Indonesia untuk mitigasi bencana longsor tahun 1999. Kemudian di tahun 2007 tim UGM melakukan penelitian dan mengembangkan alat deteksi longsor sederhana secara manual.
Pemasangan alat sistem peringatan dini pertama kali dilakukan di Banjarnegara, Jawa Tengah. Perkembangan dan pembaruan alat sistem peringatan dini bencana longsor semakin meningkatkan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2009 mulai dikembangkan alat deteksi longsor generasi terbaru dengan memanfaatkan energi dari tenaga panel surya dan terus berkembang hingga menjadi alat deteksi longsor digital. Hingga kini telah lahir generasi ke-6 Gama EWS. Sekitar 25 varian alat deteksi, seperti extensometer, crackmeter, tiltmeter, inclinometer, penakar hujan, ultrasonic water level sensor dan groundwater sensor berhasil diciptakan. Varian-varian ini kemudian dilindungi dengan lima paten inventor Prof. Teuku Faisal Fathani, M.T., Ph.D dan Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D.
Alat EWS ini dibuat dengan menggunakan lebih dari 90 persen komponen lokal dan diproduksi oleh industri kecil dan menengah (UKM) di wilayah D.I Yogyakarta dan Jawa Tengah. Sistem pada EWS tidak hanya melalui sirine atau pengeras suara, tetapi juga melalui pesan singkat (SMS) ataupun email melalui jaringan GSM, Wifi, maupun frekuensi radio.
Penerapan Gama EWS
Gama EWS berhasil diimplementasikan di 30 provinsi, 110 kabupaten/kota dan lebih dari 200 desa di seluruh Indonesia bahkan hingga Myanmar. Alat ini terbukti mampu menyelamatkan jiwa manusia dari bencana, seperti bencana di Banjarnegara (2007), Aceh Besar (2015), Donggala (2016), Lombok Barat (2016), Kerinci (2017), Purworejo (2017), Gunungkidul (2017), Sintang (2017), Jambi (2017) dan beberapa lokasi lainnya.
Pengujian Alat EWS (Dok. UGM)
Mengacu pada empat unsur utama sistem peringatan dini (UN-ISDR, 2006), yakni (1) pengetahuan tentang risiko, (2) teknologi pemantauan dan layanan peringatan, (3) diseminasi dan komunikasi, hingga (4) kemampuan merespons, maka BNPB dan UGM yang didukung oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah merumuskan standar internasional tentang sistem peringatan dini gerakan tanah.
Sistem ini terdiri atas tujuh subsistem utama, yakni (1) penilaian risiko, (2) diseminasi dan komunikasi pengetahuan bencana, (3) pembentukan tim siaga bencana, (4) pembuatan panduan operasional evakuasi, (5) penyusunan prosedur tetap, (6) teknologi pemantauan, peringatan dini, dan gladi evakuasi, serta (7) membangun komitmen otoritas lokal dan masyarakat dalam pengoperasian dan pemeliharaan keseluruhan sistem. Sistem Peringatan Dini Gerakan Tanah Berbasis Pemberdayaan Masyarakat telah diadopsi dan dipublikasikan oleh ISO/TC 292 Security and Resilience.
Pencapaian penting bagi UGM karena ISO 22327:2018 adalah standar internasional pertama yang diusulkan oleh Indonesia dan bahkan dari negara berkembang. Penetapan ini menyusul SNI 8235:2017 tentang sistem peringatan dini gerakan tanah yang terbit setahun sebelumnya. Dengan capaian ini, maka sejak tahun 2011 UGM ditetapkan oleh UN-ISDR UNESCO sebagai World Center of Excellence on Landslide Disaster Risk Reduction selama tiga periode berturut-turut (2011-2014; 2014-2017; 2017-2020).