Kamis, 20 November 2014 UKM Gama Cendekia UGM bekerja sama dengan LPPM dan RCE Yogyakarta mengadakan kegiatan seminar dan lokakarya ENVIRONMENT CARE OF INDONESIA (ENCI) 2014 dengan tema “APA KABAR TANAH AIRKU?, Menelisik Penyebab dan Solusi Bencana Cuaca di Jateng-DIY”. Acara ini dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan UGM Expo dan dilaksanakan di gedung Grha Sabha Prmana Lantai 1 Sayap Timur Ruang A. Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai civitas akademika baik dari lingkungan UGM maupun dari beberapa perguruan tinggi lain dan juga dari media massa.
“Acara ini dilatar belakangi karena cuaca belakangan ini, musim kemarau telah berlalu, banyak yang kekeringan, ketika muncul musim penghujan banjir ikut muncul”, tutur Yusuf sebagai ketua panitia seminar ENCI ini. Perubahan iklim yang terjadi pada beberapa tahun terakhir banyak menimbulkan bencana. Bencana-bencana ini apabila tidak di tindak lanjuti dengan baik maka akan terus menjadi bencana dan dapat menimbulkan banyak kerugian. Pada musim kemarau banyak terjadi kekeringan, sedangkan pada musim penghujan banyak terjadi banjir dan tanah longsor. Keadaan alam tidak lagi seimbang. Dalam seminar dan lokakarya ini akan di lakukan peninjauan mengenai penyebab dan solusi bencana cuaca Jateng-DIY dalam tiga perspektif, dari segi pemerintah yang diwakili dari BMKG,dari LSM diwakili oleh WALHI dan dari segi RCE yang diwakili oleh bapak Ahmad Agus Setiawan yang baru saja mendapatkan Habibie Award pada 12 November 2014 lalu.
“Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dimana matahari bersinar sepanjang tahun, dan hanya memiliki 2 musim tetapi masih sering dibuat kerepotan” tutur Drs. Herizal, M. Si., sebagai Kepala BMKG Jawa Tengah mengawali seminar dan lokakarya ini. Dapat ditelisik lebih dalam, Indonesia memang hanya memiliki dua musim tetapi adanya perubahan iklim yang terjadi sering belum dapat disiapkan dengan baik oleh masyarakat Indonesia akibatnya bencana yang ditimbulkan masih serIng menimbulkan korban baik harta benda maupun jiwa.
Musim penghujan di Indonesia terdiri dari 3 pola, yaitu pola equatorial, pola monsoon dan pola local. Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah termasuk daerah dengan pola monsoon, yaitu pola dimana terjadi puncak musim penghujan dan terdapat perbedaan yang tegas antara musim kemarau dan musim penghujan. Namun karena perubahan iklim, sering kali terjadi perubahan yang sering kali tidak terprediksikan. Kekeringan banyak terjadi di beberapa wilayah di Jawa Tengah dan DIY. Kekeringan merupakan fenomena alam yang tidak dapat dielakkan dan merupakan bagian dari variasi cuaca, Kekeringan ini disebabkan berkurangnya air di udara, permukaan tanah dan di dalam tanah. Bapak Herizal juga menjelaskan bahwa Kekeringan dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu kekeringan metereologis, kekeringan hidrologis, dan kekeringan agronomis, kekeringan sosiologis dan kekekringan antropogenik.
Untuk mengatasi permasalahan cuaca yang dapat menimbulkan bencana, BMKG mempunyai alur mitigasi. Alur tersebut ada tiga tahapan yaitu Pra Bencana, Bencana dan Pasca Bencana. Salah satu alur dari mitigasi bencana dilakukan pada bencana kekeringan. Menurut Drs. Herizal pada alur mitigasi bencana untuk bencana kekeringan pada tahap pra bencana adalah dilakukan koordinasi SKPD dan Instansi mitra, sosialisai atau desiminasi informasi, dan pembuatan peta rawan kekeringan. Untuk alur mitigasi pada waktu bencana adalah dengan droping alr bersih sedangkam pada pasca bencana dengan penggantian bibit tanaman yang puso.
Dari pannelis pertama, dengan pembicara Drs. Herizal dapat disimpulkan bahwa kekeringan merupakan bagian dari bencana alam dimana kerentanan terhadap kekeringan bervariasi. Mitigasi merupakan upaya untuk mengurangi kerentanan terhadap kekeringan, mitigasi akan berhasil jika ada sinergi pemerintah dan masyarakat. Kekeringan menjadi bagian bencana yang datang secara pelan-pelan akan tetapi dampak besarnya pada social dan ekonimi. Oleh karena itu mitigasi bencana menjadi bagian pokoknya.
Pannelis kedua dari perwaklian LSM yang diwakili oleh WALHI DIY yang dibawakan langsung oleh ketuanya, Risalati Aminatul Insaniyah. Beliau menuturkan akhir-akhir ini Daerah Istimewa Yogyakarta sudah banyak yang berubah. “Jogja yang dulu tidak kekeringan, tapi nyatanya sekarang mulai terdapat laporan kekeringan”. Kemudian di musim hujan tidak mustahil kota Jogja dilanda banjir, terutama di daerah bantaran sungai. Hal ini disebabkan karena cekungan dan factor alam. Beliau juga menuturkan “Kalau di Jogja banjir dan kekeringan itu memang langka, namun itu bisa terjadi, dulu engga, tapi sekarang bisa. Untuk menanganinya dapat dilakukan dengan memperketat perizinan, perijinan pembangunan hotel dan apartemen di daerah Jogja harus diperhatikan juga karena secara tidak langsung mengurangi daerah resapan air.”
Materi ke tiga dipaparkan oleh RCE Yogyakarta, Ahmad Agus Setiawan. Pada sesi ini lebih mendorong para peserta seminar yang kebanyakan adalah civitas akademika untuk penggunaan teknologi energy terbarukan untuk pembangunan berkelanjutan. Melakukan pemikiran dan konsep fleksibility, sustainable development. “Sumber daya alam yang ada jangan dihabiskan semuanya hari ini, tetapi dijaga untuk generasi berikutnya” begitu pesan Bapak Ahmad disela sela pemaparan materinya. “BBM naik, hal ini karena dulu tidak dipikirkan konsep sustainable development, karena banyak dihabiskan sehingga dampaknya berasa sekarang” ujar beliau. Salah satu cara mengatasi krisis kekeringan misalnya, dengan penggunaan Solar Water Pumping System, Desain Pengangkatan Air Tenaga Surya di Dusun Sureng, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul. Selain itu ada juga Solar Power Sytem for Disaster Respone and Recontruction yang dikembangkan oleh Fakultas Teknik yang bekerja sama dengan LPPM UGM untuk mengatasi gempa Padang pada 6-8 Januari 2010 silam yang dilaksanakan oleh mahasiswa tim KKN yang dikrimkan kesana.
Sesi selanjutnya dilanjutkan oleh tanya jawab. Banyak peserta seminar yang antusias dan mengajukan diri untuk bertanya. Pertanyaan mereka pun cukup menarik dan beraneka ragam. Salah satu pertanyaan ditanyakan oleh Hidayati dari Fakultas Kehutanan, “Bagaimana pengaruh air tanah di Jogja, pembangunan yang vertical dan Begawan solo yang sering banjir, kemudian solusi konkretnya seperti apa?” . Dan dijawab langsung oleh bapak Herizal “ Rumah vertical memang diunggulkan, dan air tanah memang sudah berkurang”. Ibu Risalati menambahkan “ Jumlah penghuni di dalamnya menjadi factor yang mengganggu sirkulasi air tanah, hujan kembali ke tanah, kalau resapan kurang maka akan kembali ke laut. Untuk solusinya, kajian hidup strategis sangat penting.
Pertanyaan lain dari peserta seminar sangat menarik sekali, seperti dari Firmansyah terkait dengan privatisasi air di Gunung Kidul dan bagaimana untuk pengusaha swasata, yang dijawab oleh ibu Risalati dengan peningkatan kapasitas masyarakat, jangan selalu tergiur iming-iming ekonomi, ekowisata, dan pelestarian yang sejalan dengan ekonomi masyarakat. Privatisasi air baru wacana karena melihat dari kebijakan pemerintah, penegakan hukum yang lemah. Harus ada sinergi anatara pemerintah, LSM, dan masyarakat. Moderator pun dalam seminar ini ikut bertanya, Indonesia sebagai daerah maritime kenapa masih tetap juga kekeringan dan juga terjadi krisis pangan. Kemudian bagaimana dengan desain lembaga pemerintah masalah frame maritime? Pertanyaan menarik ini dijawab oleh pihak WALHI sebagai LSM, harus ada komunikasi dengan pemerintah. Dari pak Agus, menyatakan bahwa perlunya distribusi energi, yang dapat dilakukan seperti “Water for Sumba”. Sedangkan dari pihak pemerintah yang diwakili kepala BMKG Jawa Tengah mengatakan perlu susunan kabinet untuk maritim dan menko maritime. BMKG juga mengurusi masalah transportasi dan ikan, semuanya harus ada sinergi.
Setelah diskusi panjang lebar dengan pihak civitas akademika, LSM, RSC, dan juga pihak pemerintah, seminar ini berakhir pada pukul 11.30 dan dilanjukkan dengan pemberian kenang-kenangan untuk pembicara. Setelah itu dilanjutkan dengan sesi foto bersama dengan pembicara dan terakhir dihibur oleh penampilan “Socio Voice” dari teman teman mahasiswa UGM. (mediaGC)